"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Sabtu, 22 Agustus 2009

Takdir: Ketetapan, Pilihan, ataukah Perjuangan?

--traskripsi tentang kegelisahan seorang insan yang memperjuangkan sebentuk harapan. Harapan yang absurd karena terjerat sindrom keentahan yang kian akut









Percayakah kamu pada takdir?
Jika kamu mengembalikan pertanyaan itu padaku, maka jawabku: aku percaya. Bahkan sangat percaya. Apalagi dengan takdir itu kita, aku dan kamu, dipertemukan.

Ketetapan Tuhan, begitu orang sering mendefinisikannya. Mungkin benar. Aku berkata demikian sebab di dunia ini tak ada satu pun definisi yang dapat mewakili atau menggambarkan dengan tepat sebuah hakikat. Yang pasti, tak ada seorang pun yang dapat mengingkarinya. Aku yakin bahwa hidup dan kehidupan yang kita jalani memang telah digariskan oleh-Nya.

Namun, apa yang telah aku sebutkan tadi tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran atas segala tindak keputusasaan, dalam bentuk apapun. Kita mesti memperjuangkan apa yang kita dambakan –atau kamu sering menyebutnya dengan “harapan”. Ya, dunia menuntut kita untuk terus dinamis, terus berubah. Termasuk dalam menggapai ci(n)ta (..?).

Lalu, di manakah letak takdir Tuhan?
Takdir berada di ujung semua usaha yang telah kita lakukan. Setelah berusaha maksimal, barulah hasilnya kita pasrahkan pada-Nya. Itulah tawakkal. Dan semua itu tidaklah melawan takdir. Justru sebaliknya, dengan hal itu kita menjalani takdir kita sendiri (aku kira kamu masih ingat ketika suatu sore kita perbincang tentang Umar ibn Khattab).
Tak ada yang akan kita dapatkan kecuali apa yang telah kita usahakan. Maka, kita tidak boleh mengggantungkan diri kepada nasib, apalagi berharap ada bintang jatuh yang akan mengabulkan semua keinginan kita. Pun kalau memerlukan keajaiban, janganlah sekedar menunggunya. Ya, janganlah menunggu keajaiban, namun ciptakanlah keajaiban itu.

Lalu, apakah takdir itu juga menginginkan sepenggal cerita akan terus berlanjut?

Entahlah!


Man with hopeless, begitu kamu pernah menuduhku.
Maka, jika kamu menanyakan, akankah sebuah cerita terus berlanjut, maka akan aku jawab: entahlah..

“Entah” bukanlah kemutlakan sebuah absurditas. Bukan pula berarti tiadanya kemungkinan. Justru “entah” itu menghimpun beragam kemungkinan. Mungkin benar. Mungkin salah. Mungkin iya. Mungkin tidak. Mungkin mungkin. Mungkin juga entah. Ya, kemungkinan yang entah.

Keentahan dalam diri itulah yang membuatku teramat takut untuk melanjutkan cerita. Untuk terus berada di titian alurnya.
Tidak hanya itu, keentahan tersebut jugalah yang membuatku begitu takut jika aku harus mengakhiri cerita itu, atau membiarkannya tetap terperangkap dalam sepotong waktu yang juga entah. Ketika itu terjadi, maka sebuah cerita takkan ada lagi. Sebab tak ada lagi energi yang tersisa untuk kembali memulainya.

Akankah sebuah cerita akan berhenti sampai di sini?
Ataukah cerita ini memang harus segera diakhiri?
Apakah akan kubiarkan takdir mengakhiri ceritaku?



Tidak! Aku akan memperjuangkan takdirku sendiri. Aku percaya bahwa aku masih memiliki energi untuk melanjutkan cerita, merangkai jejaringnya hingga menjadi untaian kisah yang akan mengabadikan cerita kita, aku dan kamu. Tidak juga kubiarkan waktu menentukan alurnya, sebab seperti yang dikatakan Ahmad Tohari, “menyerah pada kunci waktu adalah kelemahan dan keputusasaan yang harus dibuang jauh.” Akan kubunuh keentahan yang ternyata telah menghempaskanku dalam perangkap ketakutan.
Takdir memang sebuah ketetapan: ketetapan yang memperbolehkan, bahkan mengharuskan aku untuk memilih. Aku memang harus memilih. Memilih takdirku sendiri, lalu menjalaninya. Sebuah pilihan yang kemudian menuntutku untuk memperjuangkannya mati-matian.