"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Kamis, 31 Desember 2009

06.45

 selamat jalan, Guru Bangsa






senja tak seperti biasanya
matanya sembab
merah
bukan marah

mentari berlalu sore ini
begitu tiba-tiba
meninggalkan senja bersama derai duka dan air mata

ya, mentari tlah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna
mengawal bumi sedari pagi
mengajarkan bagaimana hidup yang tak menyerah kalah

dia lelah
butuh istirah

selamat tidur, mentariku
cahaya dan hangatmu
abadi malam ini.
esok. lusa. dan akhir nanti


31 Desember 2009

Rabu, 30 Desember 2009

salamku padamu, langitku





seperti yang kuduga sebelumnya, kau tak menyapaku malam ini, langit. apa kau marah? entahlah. pun kalau memang marah, terserah! toh aku tak punya hak untuk melarang hal itu.

benar bahwa aku memakimu beberapa hari lalu. tapi aku punya alasan yang kuat; kau berkhianat.
aku sudah pernah mengatakan kalau aku tak suka dibohongi. eh, kau melakukannya juga. kau mengatakan akan menurunkan hujan yang menyejukkan. omong kosong. hujan itu memang ada, namun itu hujan air mata. air mata hujan yang kau tumpahkan saat kau membutuhkan.

akhirnya terjadi apa yang benar-benar aku takutkan. ya, aku tak terlalu cemas jika kau berdusta padaku. yang aku khawatirkan adalah ketika aku sudah tak percaya lagi padamu.

kau tahu, langitku, aku nyaman tanpa hujan. toh selama ini juga demikian.

apakah aku akan kesepian? maaf, kau salah jika berpikir seperti itu.
aku damai dengan diriku sendiri. tanpa hujan, bahkan tanpa langit sekalipun.

salam,
bumi

Minggu, 20 Desember 2009

aku malu, Tuhanku (2)



kenikmatan Tuhan tak jarang malah memunculkan ketamakan; dengan semua karunia-Nya, ternyata aku tak pernah berhenti meminta. ah, aku merasa bodoh saja.

itulah yang kemudian menjadikanku sebagai manusia pemalas yang akut dan pengumpat paling hebat di kolong jagad. sering memaksa agar Tuhan me-nyata-kan semua yang kuinginkan. dan jika tidak, maka keluar sumpah-serapah dan umpatan --yang belakangan aku sadari, ternyata sangat menjijikkan.

kondisi semacam itu pada akhirnya melemahkanku. menjadikanku sebagai manusia yang tak memilki daya jika harus berhadapan dengan masalah. ujung-ujungnya menyerah kalah. lalu berharap Tuhan akan turun tangan untuk mengatasi semuanya.

betapa tololnya!

dan yang paling mencewakan dari semua itu adalah bahwa semua nikmat Tuhan yang Beliau berikan ternyata tak sebanding dengan dharma bhaktiku pada-Nya.

ibadah yang kujalani selama ini hanya sebatas formalitas untuk menggugurkan kewajiban.
sementara penghormatanku pada-Nya hanya manis di bibir saja.
benar bahwa aku pernah beberapa kali bersyukur, namun dengan ketulusan yang masih dipertanyakan.

maafkan aku, Tuhan. aku benar-benar malu pada-Mu. aku tak banyak berharap bukan berarti aku tak mempercayai kebesaran dan kekuasaan-Mu. hal itu semata karena aku merasa belum pantas medapatkannya.

salam penuh hormat pada-Mu, Tuhanku!

Rabu, 16 Desember 2009

terima kasihku padamu (3)






kata sederhana itu aku ucapkan atas semua kebaikan yang tentu saja tak sederhana.

hingga detik ini kau masih mau menemaniku. bukankah itu luar biasa? ya, tidak ada yang lebih membahagiakan dari itu semua.

benar bahwa tak setiap detik kita saling bertegur sapa. namun itu tak membuat kita memalingkan muka. apalagi menjadikan kita saling lupa. toh setiap kali bencengkrama, kau senantiasa menyambutku dengan senyum hangat yang memesona.

aku tak berani berharap relasi kita akan mengabadi karena keabadian hanya milik Tuhan. hanya saja aku tak ingin melepas genggaman tanganmu begitu saja. kisah yang kita jalani tidak akan berhenti sampai di sini. aku yakin sampai esok, lusa, dan hari nanti...

salam sayangku padamu!


salam untuk bulan

sudah beranjak pagi. sebentar lagi, mentari akan menggantikanmu mengiringi bumi

aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. kau memang tak seberapa indah. ya, masih seperti biasa. kau melakukan tugasmu menerangi bumi yang telah memerah ketika matahari sedang istirah. dan aku masih saja terus mengagumimu. entah karena apa, aku tak tahu.

kau sedikit berbeda malam ini. kau menjadi begitu dingin, bulan. benar bahwa kau tetap setia. masih tetap bercahaya. tapi, entahlah! mungkin saja aku yang tidak merasa nyaman denganmu. bisa jadi juga sebaliknya, kau tidak menginginkan kehadiranku sedari senja tadi.

aku sedang tak ingin berbincang denganmu saat ini. mungkin esok. atau malah tidak sama sekali.

salam buatmu, bulanku.

Sabtu, 12 Desember 2009

kesuksesan merupakan kegagalan yang tertunda (?)

"sabar! suatu saat kau akan berhasil." nasihat itu sangat akrab di telinga setiap kita.
keberhasilan menjadi suatu orientasi, satu tujuan akhir dalam kehidupan.

ketika sementara orang menganggap bahwa keberhasilan adalah sesuatu yang mesti diperjuangkan mati-matian, saya malah tak sepenuhnya setuju. dalam beberapa hal, kata "keberhasian" mengacu pada ilusi, fatamorgana menyesatkan. betapa tidak. hati dan pikiran dibuai oleh mimpi pada pencapaian satu tujuan. dan ketika yang terjadi justru kegagalan, maka yang muncul kemudian adalah penyesalan.

benar bahwa kegagalan merupakan pelecut semangat. "kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda," begitu sebagian orang mengatakan. lalu bagaimana jika kesuksesan itu tertunda untuk selamanya? inilah pertanyaan yang belum juga terjawab.

anggapan bahwa kegagalan adalah hal yang memalukan, bahkan menjijikkan, perlu mendapat pemahaman ulang.

hidup tidak selalu sempurna. tidak selalu sukses. tidak selalu berhasil. kegagalan adalah bagian dari hidup manusia. itu yang mesti disadari. seperti dua sisi mata uang. baik buruk. itulah kita. itulah manusia. kita memang bukan penjahat, tapi kita juga bukan malaikat.

bisa dibayangkan bagaimana seseorang menjadi sangat tertekan ketika berhadapan dengan kegagalan. padahal gagal dan berhasil, kalah dan menang, merupakan harmonisasi kehidupan yang akan mengabadi. mengutip pendapat seorang teman, "hidup akan membosankan kau urus-lurus saja." ya, akan sangat membosankan manakala hidup selalu diisi dengan keberhasilan atau kegagalan sepenuhnya.

nikmati kegagalan sebagai bagian dari perjalanan hidup, proses hidup. tak ada lagi istilah kegagalan adalah anak tiri yang mesti dimaki. keberhasilan dan kegagalan adalah suatu keniscayaan. keduanya saling berpasangan. saling mengisi. saing melengkapi.

permasalahannya bukanlah terletak pada begaimana menghindari kegagalan dan mencapai keberhasilan. jika demikian, di mana letak ujian keikhlasan? yang lebih penting adalah menerima mereka sebagai saudara kembar yang tak mungkin dipisahkan. jadi kita akan mampu menerima dan memeluk erat keduanya sebagai bagian dari ke-dir-an kita. jadi, mengapa harus ditakuti? kesuksesan sejati justru terletak pada kerelaan menerima keduanya dengan tangan terbuka.

hahaha...


nb: salah satu kegagaan terbesar umat manusia adalah tidak mampu membangun kesamaan persepsi tentang istilah dan definisi. tidak heran manakala banyak hal --yang sebenarnya tidak seberapa penting-- menjadi pertentangan dan mengakibatkan pertikaian yang tak berkesudahan.

Kamis, 10 Desember 2009

aku dan langitku: cerita hujan (1)

--buat seorang teman yang sedang dibuai 'hujan'

kusampaikan terima kasih padamu, langit. sekian putaran waktu kita telah menjalin hubungan yang begitu mesra. hanya saja relasi kita ini mesti diakhiri sampai di sini. apa alasannya? akan kujelaskan nanti.

* * *

aku yakin kau masih ingat, di suatu senja yang jingga kau menyapaku. aneh. ya, terlampau aneh karena setelah sekian lama kita bertemu muka, baru kali ini dari mulutmu keluar kata.
”bumi, maukah kau menampung hujanku?” begitu katamu.
hujan. kata itu juga tak begitu akrab di telingaku. namun juga tak sepenuhnya asing. aku pernah sesekali mendengar dari cerita leluhurku bahwa ada sesuatu, cerita, peristiwa, atau apalah yang dinamakan hujan.

menurut kabar yang aku dengar, hujan bisa datang dengan bermacam cara yang tak terduga. begitu juga dengan akibat yang ditimbulkannya. kadang dia menyapa dengan begitu lembut. setiap apa yang disentuh serasa dibelai oleh tangan-tangan halus yang memanjakan. namun, dia juga bisa datang dengan kemarahan serta raut wajah suram yang menghancurkan.

hujan mampu menggugah bermacam perasaan. sejuk. hangat. damai. gelisah. marah. ya, titik-titik air itu mampu meyentuh setiap sisi kehidupan, personal maupun komunal.

ah, kau membuatku makin penasaran saja, langit. membuatku makin ingin membuktikan apakah hujan yang kau katakan sama dengan hujan yang pernah dikisahkan.

...bersambung

aku malu, Tuhanku (1)


pagi ini mentari menyapaku dengan cara yang berbeda. tak secerah biasanya, namun tetap mendekap hangat tubuh dan jiwaku yang kuyu.

tak banyak yang kuinginkan pagi ini. bukan tak ada. hanya saja aku tak berani. ya, aku tak berani berharap. aku malu. aku malu pada pagi. pada mentari. pada semuanya.

pagi telah memberiku kehidupan. sementara mentari selalu menyapaku dengan kehangatan. keduanya merupakan bagian dari harmonisasi alam yang sampai saat ini belum juga aku pahami. yang aku tahu hanyalah mereka menjalankajn apa yang telah dititahkan Tuhan dengan sebaik-baiknya. dengan begitu sempurna. tak pernah ada keluhan, apalagi pembangkangan.

lalu aku?
pertanyaan itu benar-benar mengusik hatiku.

telah sekian waktu Tuhan memberikan kesempatan padaku untuk menikmati serta mengemban amanah atas anugerah yang tak pernah kuduga sebelumnya, yakni hidup sebagai manusia. ini juga yang sering memunculkan pertanyaan. kenapa Tuhan manjadikanku sebagai seorang anak manusia? kenapa bukan sebagai yang lain? kenapa bukan sebagai batu, angin, air, hujan, atau malah setan sekalian. aku tak tahu pasti alasannya. hanya saja aku berpikir --semoga ini benar-- bahwa itu semua karena Tuhan sayang padaku.
cukup menentramkan, namun pikiran itu kadangkala memunculkan kesombongan.

Tuhan memang menyayangiku. Beliau senantiasa mendengar doa, permintaan, harapan, keluhan, bahkan makian yang keluar dari mulut ini.
aku bisa menikmati banyak hal: keindahan fajar pagi, hangatnya persahabatan, serta lika-liku kisah cinta yang mendebarkan.
aku pun tak perlu melakukan tugas berat seperti yang telah dibebankan Tuhan kepada makhluk lain selain diriku. aku tak perlu seperti mentari yang mesti tepat waktu menjaga keseimbangan siang dan malam. tak perlu seperti angin yang berlarian kesana-kemari hanya untuk menyapa dan menyejukkan seisi bumi. aku juga tak perlu memiliki kekhawatiran layaknya setan yang telah dijanjikan neraka jahanam. menakjubkan, bukan?



Selasa, 08 Desember 2009

belajar dari setan




setan. makhluk yang satu ini memiliki beberapa sisi menakjubkan. di luar kodrat serta stigma buruk yang melekat, misalnya makhluk jahat penggoda manusia atau juga penghuni abadi neraka, mereka memiliki peri kesetanan yang mengagumkan.

sejarah mencatat bagaimana iblis, nenek moyang kaum ini, melakukan hal di luar mainstreem yang berlaku pada zaman itu. dia adalah satu-satunya makhluk yang terang-terangan berani menentang titah Tuhan dengan menolak bersujud kepada Adam. apapun motivasinya, tindakan itu menunjukkan iblis merupakan penggerak revolusi sejati serta pencetus gerakan anti-kemapanan. itu dibuktikan dengan kerelaannya untuk angkat kaki dari taman surga, tempat yang selama itu ditinggalinya.

anak cucu iblis pun tak kalah menawan. mereka mewarisi semua bakat dan sifat yang dimiliki oleh nenek moyangnya. diakui atau tidak, banyak hal dari mereka yang bisa dijadikan teladan oleh siapapun, termasuk manusia, makhuk yang sering merasa paling sempuna di muka bumi ini.

salah satu sifat yang mereka miliki adalah konsistensi. ketika akan di usir dari surga, iblis bersumpah kalau dia dan anak cucunya akan senantiasa menggoda dan mengajak umat manusia untuk mengikuti jalan yang mereka tempuh. hal itu pun benar-benar terbukti. doktrin yang diwariskan dari generasi ke generasi tersebut berjalan dengan sangat efektif –kalau tidak boleh dikatakan, sempurna. apa yang diikrarkan oleh iblis kala itu, masih dijalankan oleh anak cucunya sampai saat ini, bahkan sampai hari akhir nanti.

selain sangat konsisten, mereka juga memiliki loyalitas yang luar biasa. sampai sekarang tidak pernah terdengar cerita tentang adanya satupun oknum setan yang desersi, apalagi berkhianat.
bukankah itu hebat?


Minggu, 06 Desember 2009

maafkan, langitku

islangit maafkan aku
kali ini aku tak mau menampung hujanmu itu

tak ada alasan yang luar biasa
hanya tak ingin.
itu saja


06 Desember 2009

Rabu, 02 Desember 2009

malam yang mengesankan



tak ada yang lebih mengesankan dari malam
selain keheningannya yang tetap diam

malam menelan segala peristiwa yang terjadi siang tadi
dusta
cinta
serta secuil senja penghias langit sore ini

malam hitam
dan bukan kelam

ia adalah ruang istirah bagi tubuh yang lelah
ia adalah waktu kalbu menangis mengais ampunan atas rangkaian kealpaan

ia menyimpan rahasia duka atau bahagia yang akan datang esok hari

malam bukanlah untuk malam
ia takkan pernah ada kalau hanya untuk dirinya



2 Desember 2009

Selasa, 01 Desember 2009

putri hujan

hujan adalah dirimu
datang dengan tiba-tiba
hingga aku tergagap tak dapat berkata

hujan adalah dirimu
datang bersama angin. badai.
aku suka

hujan adalah dirimu
pergi sewaktu-waktu
beranjak. meningalkan jejak yang mengabadi

dan aku adalah bumi
yang tetap diam
yang tetap berharap hujan membasahiku esok hari


1 Desember 2009

Sabtu, 28 November 2009

salahkah air mata?



tangis. entah kenapa kata yang satu ini menjadi eksistensi yang seringkali tak dihargai. bahkan sebagian orang malah mengharamjahanamkannya.

"sudahlah, tidak perlu menangis! jadi orang kok cengeng." kata-kata itu begitu akrab di telinga. menangis dianggap sebagai perilaku kekanak-kanakan. orang yang mengeluarkan air mata dinilai sebagai orang yang tak berdaya dan hanya bisa melampiaskan emosinya dengan tangis, dan bukan yang lain. kata "tangis" juga sering diidentikkan dengan kata cengeng. bahkan sempat merembet ke isu gender karena ada anggapan hanya wanita yang berhak menangis. seorang laki-laki pantang melakukan hal itu.

semua pemikiran tersebut di atas sepertinya layak untuk dikaji ulang.

tangis adalah ekspresi manusia, sama dengan ekspresi yang lain. tangis sama dengan senyum. tangis sama dengan tawa. tangis sama dengan luapan emosi lainnya. oleh karena itu tidak ada satupun orang di dunia ini yang berhak melarang seseorang untuk menangis dan mengeluarkan air matanya. ya, menangis merupakan hak manusia yang paling asasi. maka jika ada yang berani melarang seseorang menangis, berarti telah melanggar hak orang lain sebagai manusia merdeka.

persoalan berikutnya adalah tangis seringkali diidentikkan dengan wanita. ini merupakan sebuah diskriminasi yang nyata. seorang laki-laki dilarang menangis? ah, tak ada dasar yang kuat untuk hal ini. sebagai seorang manusia, laki-laki sama dengan wanita, berhak untuk menumpahkan emosinya dalam bentuk apapun ketika melewati moment-moment yang memang emosional.

apakah tangis sama dengan cengeng? seperti yang dikemukan di awal tadi, tangis adalah ekspresi. air mata adalah ekspresi yang keluar dari perasaan paling dalam. itu kenapa ketika tangis mereda, yang hadir kemudian adalah kelegaan dan ketenangan yang luar biasa. sedangkan orang yang cengeng lebih banyak menunjukkan kelamahan. cengeng adalah lari dari masaah. cengeng adalah tak berdaya. dan cengeng adalah meluapkan segala kepenatan dengan melakukan hal-hal yang negatif serta destriktif. orang cengeng belum tentu menumpahkan emosinya dengan menangis. tapi justru ia mempertontonkan ketidaktegaran yang sebenarnya.

dan yang terakhir, apa tujuan Tuhan menciptakan air mata kalau tidak untuk ditumpahkan?

Kamis, 26 November 2009

seperempat abad yang lewat

seperempat abad yang lewat
begitu dekat. mendekap erat

seperempat abad yang telah lewat
merupakan pertarungan hidup mati seorang putra adam yang dipaksa untuk
tak menyerah kalah
dari kehidupan yang tak ramah

seperempat abad adalah jalinan kisah kasih
antara kau, aku, dia, kalian, dan mereka
di mana di dalamnya kita berdielektika
saling caci
saling benci
saling cinta
begitu mesra

seperempat abad yang telah lewat adalah
sepenggal paragraf kehidupan yang belum sampai pada sebuah kesimpulan
masih ada jutaan kata yang mesti dirangkai hingga menjadi
sebentuk transkripsi yang mendamaikan

seperempat abad yang telah lewat
bukanlah ruang dan waktu yang terlewat begitu saja
ia adalah romansa yang akan terus mengukir cerita
hingga sampai suatu saat dipaksa untuk tertidur
lelap. hangat. mati. abadi..


26 November 2009

Senin, 23 November 2009

relativitas yang absolut




tak ada kemutlakan dalam hal duniawi. tak ada satu hal pun yang absolut. sesuatu tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar atau sebaliknya, sepenuhnya salah. semua serba relatif. pun kalau ada yang absolut, tak lain adalah relativitas itu sendiri.

semua hal tentang manusia dan kemanusiaan selayaknya dipandang dari sudut pandang tersebut di atas. Tuhan menciptakan dua hal yang saling berpasangan. masing-masing tidak dapat ditempatkan pada dua titik ekstrim. keduanya dapat saling bergerak, bahkan saling bertukar. sama sekali bukan seperti setan dan malaikat. pada titik inilah istilah "sangat" dan "paling" mesti mendapat pengertian ulang.

sekilas, hukum tersebut seakan-akan mengandung bias. tidak ada ketetapan. tidak ada kepastian. bahkan terkesan liar. namun, meminjam istilah seorang teman, itulah 'irama kehidupan'. ya, kehidupan akan terus berubah dan berkembang, bukan?

salam sahabat




sahabat. sulit menemukan definisi kata yang satu ini. bahkan mungkin tak terdefinisikan. kenapa? definisi seringkali memberikan sebuah batasan. definisi mengharamkan hadirnya segala kemungkinan yang tak pasti. padahal, kedalaman relasi persahabatan terlalu dalam untuk dibatasi. persahabatan membuka ruang seluas-luasnya bagi berkembangnya beragam kemungkinan.

salah satu masalah yang diciptkan manusia adalah terlampau mendewakan sebuah definisi. benar bahwa deinisi meminimalkn munculnya bias yang tak jelas. namun bersamaan dengan hal itu akan memicu muncunyal individualitas sebuah konsep.

hal tersebut juga berlaku untuk persahabatan.

banyak yang mencoba mendefinisikannya. sebagian berpikir keras untuk merumuskani definisi yang tepat. masing-masing mengklam sebagai yang paling benar, paling mengerti, hingga merasa paling berhak untuk memaknai. kenyataan menunjukkan tak ada satu pun definisi yang sama. semua berbeda. bahkan tak jarang saling bertentangan. hal itu merupakan bukti bahwa tak ada seorang pun yang berhak untuk menguasai wilayah itu.

seperti yang dikemukkan di awal tadi, sahabat tak terdefinisi. dan memang tak perlu untuk didefinifikan. biarlah ia berhembus lepas, menghangatkan jiwa-jiwa manusia yang selama ini beku dalam dinginnya kesendirian. biarlah ia bebas mengepakkan sayap, lalu hinggap di hati setiap anak manusia yang memperkenalkan dirinya sebagai sahabat sejati.

salam persahabatan!

Sabtu, 21 November 2009

catatan orang sakit jiwa*




entah kenapa, akhir-akhir ini kau begitu menyebakan!

dulu kau berujar bahwa jalinan kita akan abadi selamanya. omong dengan itu semua. buktinya sekarang kau "pergi" entah ke mana. kau meninggalkanku begitu saja justru ketika aku sedang sakit jiwa.
kita masih bersua, tapi tak lagi saling sapa.

bahkan di titik ini pun aku masih saja percaya padamu.

ada dua kemungkinan. aku terlampau baik. atau aku terlalu tolol. aku lebih suka jika alasannya adalah yang kedua.

tidak sekali ini saja.

kau bilang mengharapkan perhatian. aku perhatikan, kau tidak jarang tiba-tiba menghilang.

beberapa waktu lalu, aku berusaha menyapa, tapi ternyata kau tak hirau dan berlalu begitu saja. sial! apa yang terjadi denganmu sebenarnya

dan bodohnya aku, ketika kau datang, betapa hangat aku menyambutmu. kebencian serta kemarahan kemarin hilang begitu saja. dan relasi kita berdua kembali seperti biasa. apa adaanya.

tapi untuk kali ini, sepertinya tidak. hubungan kita begitu aneh. begitu dingin. lebih baik kita akhiri saja. toh tak ada gunanya melanjutkannya.

kau begitu menyedihkan, sayang.
aku tak bisa membayangkan bagaimana jika kau kehilangan teman sebaik diriku ini. kau pasti sedih. aku yakin itu. coba kamu pikirkan, selama kamu hidup di dunia ini, mana ada orang yang berkali-kali memaafkanmu untuk kesalahan yang sama. kalaupun ada, seperti yang aku kemukakan sebelumnya, ada dua kemungkinan. mungkin saja orang itu memang baik. tapi bisa jadi dia adalah setolol-tololnya manusia. meski aku memang tolol, tapi aku tidaklah sebodoh yang kamu bayangkan.

maaf telah membuatmu kecewa. aku yakin kau berpikir akan aku maafkan begitu saja. ah, aku terlalu baik untuk melakukan itu. aku terlalu baik untukmu.

lihat saja nanti. kau pasti akan sanagt membutuhkanku. kau akan sangat kehilangan diriku.

tapi, tidak sebesar seperti aku kehilangan dirimu...


*) catatan ini permintaan seorang teman, dan bertolak dari apa yang dia kisahkan beberapa hari terakhir. judul tersebut merupakan permintaan yang bersangkutan. meski dia sedang "sakit jiwa", tapi tak kehilangan kepercayaan diri yang luar biasa, atau saya lebih suka menyebutnya dengan istilah 'sindrom narsisme yang akut'. haha..

Jumat, 20 November 2009

aku, dia, dan senja yang biru




sudah beberapa hari, aku tak bisa menikmati senja biruku lagi. entah apa sebabnya. namun aku punya keyakinan bahwa senja biruku tak hilang. ia masih milikku. dan akan selalu begitu.

hingga suatu ketika, datanglah dia. ya, dia yang bukan kau. kalian berbeda, jika kau seringkali datang dalam diam, dia tidak demikian. senyum senantiasa mengembang dari bibirnya, makin menegaskan wajahnya yang memancar ayu. aku merasa agak canggung. bukan apa-apa. biasanya aku ditemani dirimu yang murung, sedangkan kali ini ditemani dia yang begitu ceria.

saat itu pun aku tak tahu penyebabnya. sampai suatu saat aku bertanya, apa yang menyebabkan dia terlihat bahagia. dia mengatakan sesuatu yang benar-benar mengagetkanku, “aku sedang menunggu senjaku. senja biruku, aku percaya sebentar lagi dia akan datang.”

aku tercengang.

senja biru? bukankah senja biru milikku? bagaimana mungkin dia memiliki senja yang sama? ataukah senja yang tak sama? jika demikian, berarti ada dua senja berwarna biru. ah, tidak mungkin. atau jangan-jangan dia telah mencuri senja biruku..

belum sempat aku berkata, dia melanjutkan, “senja biru itu tak biasa bagiku. sangat istimewa. oleh karena itu, aku merindukannya.”

dan di titik ini, aku kembali teringat padamu. aku merasa perlu membicarakan hal ini denganmu. mungkin kau tahu jawaban atas pertanyaanku. pun kalau tidak, kau pasti masih bersedia menemaiku. merenung. seperti yang biasa kita lakukan berdua di kala senja.

Kamis, 19 November 2009

salam buat hujan




hujan. aku suka hujan. selalu mampu memberi sensasi luar biasa.

entah kenapa aku belum ingin hujan ini berhenti. coba dengarkan harmonisasi yang dihasilkannya! titik-titik air itu membentuk alunan musikalisasi yang begitu merdu. dan di titik ini pula muncul pertanyaan, kekuatan Maha Dahsyat apakah yang mampu menciptakan orkestrasi kehidupan dalam hujan?

hujan adalah kesejukan. aku sendiri heran, setelah sekian lama, setelah sekian generasi anak manusia, ia tak juga mau berhenti. tetap setia membasuh wajah jutaan makhluk di bumi ini.

yang belum dapat aku pahami sampai saat ini adalah, kenapa masih saja muncul umpatan yang mengiringi kehadirannya? bukankah hujan menghidupkan? ah, manusia memang sering tak tahu diri. pernah suatu ketika ada yang mengatakan, "hujan yang menyebalkan! hujan juga menghancurkan!"
hujan adalah kesucian. manusia tak berhak apapun atas diri hujan. bukankan kehidupan manusia juga dirangkai atas titik-titik air hujan?

terima kasih kuucapkan padamu, hujan. Tak perlu kau hirau suara parau mereka. hadirlah sesering yang kau inginkan! hujan adalah kedamain..

salam, hujan!

Rabu, 18 November 2009

Tatapan: Segaris Batas yang Terlepas (1)




Tatapan. Instrument yang impresif menyampaikan pesan. Sebuah pesan tersirat, tapi karena tatapan, ia menjadi begitu agresif. Bahkan karena agresivitasnya itu, ia menjadi sulit dikelola, apalagi dikendalikan.
Dan dengan tatapan itu, aku mengenal, kemudian mengagumimu. Kekaguman yang entah aku sadari atau tidak, mulai menggiringku untuk lebih dalam menyelami kisahmu.

Salahkah?
Salahkah aku dengan kekaguman itu?

Tidak! Tidak ada satu pun otoritas di dunia ini yang berhak memaksa siapapun untuk mengagumi atau tidak mengagumi sesuatu.

Mungkin bisa saja menjadi salah manakala kekaguman itu menjerumuskan kita pada keinginan untuk memiliki –atau aku lebih suka menyebutnya dengan istilah “menguasai”. Kepemilikan, penguasaan, atau apapun namanya, hanya akan merusak harmonisasi dari kekaguman yang aku sebutkan di awal tadi. Ituleh ego.

Namun, apakah dengan dasar itu, ego dapat disalahkan begitu saja?
Bukankah kita manusia biasa? – bahkan sangat biasa. Dan karena biasa itu, kita tidak akan mungkin menghapuskan ego, yang mau tidak mau sudah menjadi bagian dari diri manusia.
Bukankah ego tidak selamanya negatif? Justru egolah yang menjadikan manusia “manusiawi’. Ego adalah semangat hidup.
Dan ego pulalah yang mendorongku untuk menulis transkripsi ini

Terima Kasihku Padamu (2)

 -- buat peri kecilku





untuk kesekian kali, kata maaf itu mengalir dari hatimu. terkejutkah aku? mungkin tidak. aku tahu kau pasti akan melakukannya, seperti yang sudah-sudah.

aku terlalu bebal hingga tak sepenuhnya mampu menyadari kepedulian yang kau tunjukkan. selama ini aku masih saja berpikir bahwa sesuatu yang bernama ketulusan adalah nonsens belaka. sama sekali tak ada. kalaupun tampak demikian, itu sekedar untuk menjaga perasaan persahabatan. tak lebih. dan hal itu tidaklah kekal. suatu saat pasti akan menguap ke langit entah.

namun, kenyataan sama sekali berbeda dengan apa yang aku pikirkan.
kau tulus. begitu tulus. bahkan terlalu tulus untukku.
kau mengajariku bagaimana membangun hubungan dengan mengabaikan pertanyan, "untuk apa?" dan "apa gunanya?".
kau mengajariku bagaimana relasi ke-kita-an kita yang benar-benar dibangun dari hati yang terdalam. saling menjaga. saling menumbuhkan empati. begitu hangatnya.

peri kecilku yang baik hati,
aku tidak berani menjanjikan apapun padamu saat ini. karena janji hanya akan tinggal janji kalau tidak dituntaskan. aku hanya bisa mengatakan, terima kasih. waktu akan membuktikan bahwa apa yang telah kau tunjukkan padaku telah benar-benar mengubah hidupku.

salam hormat dengamu!

Selasa, 17 November 2009

Untitled (1)




Aku baru saja mehabiskan sebatang rokok ketika memutuskan untuk meraih secarik kertas, lalu mengguratkan kata-kata dan berkeinginan untuk menuliskan apa yang kurasakan saat ini. apakah kamu bersedia menjadi teman berceritaku? Aku harap dari mulutmu, atau paling tidak, hatimu, akan keluar kata, ya.

Malam ini makin larut. Dan kamu tahu, aku menyukai nuansanya. Sunyi. Ya, aku menyukai kesunyian. Memberiku sensasi yang begitu berbeda.
Sunyi. Dan bukan gelap. Keduanya berbeda. Aku yakin kamu tahu itu. Dan akan dianggap ngelantur kalau aku mengatakan malam ini gelap. Bagaimana aku bisa bilang gelap kalau lampu di ruangan ini menghidupiku sejak sore tadi. Sunyi, meski alunan musik dari tape recorder yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat dudukku mengaluarkan bunyi-bunyi yang teramat asing buatku --paling tidak, untuk malam ini.

Entah berapa lembar kertas yang telah aku buang ke temat sampah. Tulisan tanganku memang tidak terlampau bagus. Tapi bukan itu masalahnya. Bukan pula karena aku tak mampu menumpahkan apa yang ada di pikiran dan hatiku. Sama sekali bukan. Aku hanya ingin agar apa yang aku tulis dapat dengan mudah engkau pahami. Seperti kau ketahui, aku selalu ingin memberi yang terbaik buatmu.

Maaf, kalau aku malah membicarakan malam, kertas, sampai tae recorder. Meskipun sebenarnya mereka bukannya tidak penting. Mereka pulalah yang menggerakkanku untuk menceritakan sesuatu kepadamu. Sepenggal cerita kehidupanku. Sepenggal cerita yang sebelumnya tidak pernah aku bagi dengan orang lain.

Aku masih ragu harus memulainya dari mana. Yang pasti, malam ini, ceritaku harus hadir di lembar kertas ini. Kertas. Kenapa kertas?
Aku bukan orang yang pandai berkata-kata verbal. Aku takut. Aku tidak terlalu nyaman dengan itu semua. Itulah yang membuatku lebih suka bercerita padamu lewat goresan pena. Sedikit mengutip ungkapan dari seseorang yang kuuanggap sebagai guru, "yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlau bersama angin."

Sebentar. Aku merasa kurang nyaman dengan posisi dudukku saat ini.

Kursi ini masih sama dengan kursi yang aku duduki berhari-hari sebelumnya. Masih sama dengan kursi yang aku duduki berhari-hari yang lalu ketika mulai muncul keinginan untuk berbagi cerita denganmu.
Sebuah meja kecil di depanku. Di atasnya berserak buku, plastik, gelas, dan sebungkus rokok yang isinya tinggal bebrapa batang. Dan yang terakhir aku sebut, tidak pernah mengeluh ketika berhari-hari kupaksa untuk menemaniku. Ya berhari-hari. Aku bukan orang yang cerdas, yang dalam satu putaran waktu dapat mengahasilkan sebuah tulisan untuk dikisahkan kepada orang lain --meski kamu bukan orang lain bagiku.

Huft..
Jam dinding yang menggantung di tembok bercat putih ini sudah menunjukkan pukul 12.55. Malam ini kian larut. Aku sudah mengantuk. Aku kira kau pun begitu. Tapi bukankah tadi aku ingin mengisahkan sesuatu kepadamu? Baiklah.

Aku tidak akan mengingkari janji. Seperti kata orang-orang di luar sana, janji adalah hutang. Dan aku akan membayarnya. Tapi tidak untuk malam ini. Mataku sudah tidak lagi mau diajak kompromi. Jadi, akan aku lanjutkan esok. Aku janji. Percayalah!

Untitled (2)




Seperti yang telah aku katakan sebelumnya, aku akan menuntaskan janjiku padamu. Dan sekarang sudah tak lagi malam, tapi pagi. Maka kantuk tak lagi bisa kujadikan sebagai alasan yang akan menggagalkan semuanya.

Masih ingatkah kamu apa yang aku janjikan kemarin??
Ya, aku berjanji akan menceritakan sepenggal kisah hidupku padamu. Sepenggal perjalalan kehidupan yang belum pernah aku bagi dengan siapapun. Kamu bisa mempercayaiku. Dan kalau masih juga belum bisa percaya, aku memaksa kamu untuk percaya padaku.

Sampai saat ini, aku belum bisa dengan mudah percaya kepada orang lain. tentu saja yang aku maksud adalah kepercayaan dalam berbagi hal-hal yang sifatnya personal. Aku berpikir bahwa aku memliki ruang kehidupan yang teramat pribadi. Sebuah ruang di mana aku memiliki kebebasan, kemerdekaan yang absolut untuk mengendalikan dan menentukan pergulatan dialektika di dalamya. ruang di mana aku memiliki kekuasaan yang penuh. Menurutku itu adalah hak pribadi yang paling asasi. Oleh karenanya, tidak seorang pun kuijinkan untuk menjamahnya.

Alasan lain, sederhana saja, aku bukan orang yang tidak suka mencampuri urusan orang lain kalau tidak diminta. Sebaliknya, tak ada seorangpun yang boleh dengan seenaknya mencampuri urusan pribadiku.

Mungkin aku sedang mengidap apa yang dikatakan Fromm sebagai self-centeredness syndrom. Apapun istilahnya, itu tidak penting. Aku sedang mejalankan apa yag aku yakini. Bukankah keyakinan merupakan hal yang menjadi dasar pegangan kehidupan? Aku yakin dalam hal ini kamu setuju denganku.

Sekarang kamu sudah memahamai kenapa selama ini aku belum pernah membagi kisah ini dengan siapaun. Aku ulangi, dengan siapapun.

Dan sepertinya, aku memang belum juga bersedia membaginya dengan siapapun. Dan itu juga, maaf, berlaku untukmu. Kenapa? Karena kamu belum mampu meyakinanku kenapa mesti mempercayaimu. Sekali lagi, aku minta maaf.. ^_^

Minggu, 15 November 2009

puLau menyawakan_151109




setelah pulau kecil dan pulau tengah, target kunjungan berikutnya adalah pulau menyawakan. "target kunjungan"? ah, sepertinya kurang tepat jika kedua kata itu digunakan. belum ada perencanaan sebelumnya, oleh karenanya tidak ada "target". lalu "kunjungan". apalagi kata yang satu ini. pemakaian kedua kata tersebut hanya karena penulis belum menemukan kosa kata yang tepat untuk mengungakapkan ide. tapi, sudahlah.

matahari sudah meninggi. meski formasi tidak lengkap, semangat berpetualang sama sekali tidak menghilang. toh kami ditemani si kembar salim dan salam. dua bersaudara yang selama ini cukup setia.

perjalanan diperkirakan dapat ditempuh dalam waktu 45 menit. syukurah, suasana laut begitu teduh --tidak seperti ekspedisi pulau tengah dan pulau kecil dengan ombak mencapai 2 meter. akan tetapi laut yang tenang juga membuat perjalan jadi cukup membosankan.

setelah sekitar satu jam, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. pulau menyawakan. pulau yang tidak begitu luas, namun memiliki daya tarik tersendiri. tentu saja. jika tidak, untuk apa bersusah payah mencapainya dengan meninggalkan tugas dan kegiatan yang paling mendamaikan di hari minggu: tidur. haha.
sepertinya tempat ini akan menyenangkan. banyak yang bisa dilihat. satu lagi dan ini haram jika dilupakan, ada media untuk mengekspresikan diri. apalagi kalau bukan foto-foto: ekspresi narsis yang paling manusiawi di abad ini.

namun, ada sedikit masalah ketika kami akan menjejakkan kaki di menyawakan. pengelola hampir saja tidak menijinkan karena ada kegiatan penting di tempat tersebut. sempat terlintas pikiran untuk melanjutkan perjalan ke pulau parang. tapi untunglah, akhirnya lolos juga (apresiasi kami tujukan buat mas ghofur dan pak lurah!).

pemandangan cukup menarik, meski sebenrnya tak seindah yang dibayangkan sebelumnya. mungkin ini juga karena adanya kejadian di awal tadi. tak apalah. tetap mencoba untuk menikmati.

pukul 16.30 selesai sudah perjalanan menjelajahi salah satu tempat di gugusan kepulauan karimunjawa ini. lelah? mungkin. senang? bisa jadi. narsis? tentu saja. itu pasti!

menjelang petang, kami pun beranjak pulang. sekali lagi, tak ada ombak yang berarti. justru kami disuguhi pemandangan senja yag luar biasa --meski akhirnya tidak bisa menyaksikan matahari terbenam karena terhalang awan mendung.
antara langit dan laut. ya, kami diapit keduanya. dua makhluk tuhan yang begitu luas dan terihat sangat kekar hingga mampu melumatkan apa saja, tidak terkecuali kami semua. Tuhan menciptakan dua hal berpasangan yang kontradiktif namun memilki rangkaian harmoni. cantik dan indah sekaligus kejam dan mengerikan. setelah serangkain narsisme yang kami tunjukkan, kami merasa bukan siapa-siapa, bahkan bukan apa-apa di hadapan kekuasaan Sang Pencipta. mungkin itulah pelajaran paling berharga yang penulis dapatkan dalam perjalanan kali ini.

di sini penulis tidak menggambarkan keindahan pulau menyawakan yang baru saja dikunjungi. ada tiga alasan. pertama, penulis tidak biasa menderskripsikan sebuah lokasi. tidak terlampau mahir mengungkapkan kembali sebuah pengalaman nyata yang mestinya objektif. alasan kedua, ingin membuat penasaran bagi yang belum menyaksikan. sedangkan yang ketiga adalah karena tidak ingin. ya, sama sekali tidak. itu saja.

karimunjawa, november 2009
foto by hery br


15 November 2009

Jumat, 13 November 2009

mau krupuk?

“mau krupuk? aku habis goreng satu toples besar. siapa tahu bisa ngilangin rasa hati yang nggak enak..”

meski tidak sama persis, tapi kira-kira begitulah katamu waktu itu.

ah, kau ada-ada saja.. ^_^

tapi aku suka..

mungkin kau memang sengaja mengucapkannya dan bermaksud untuk sejenak mengalihkan pembicaraan. ya... sedikir mencairkan suasana.
hey, bisa-bisanya kau memikirkan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku. haha..
pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa hubungan antara krupuk dengan topik yang kita perbincangkan ketika itu?
aku kira tidak ada. dan justru karena ketiadaan relasi itulah, kau berhasil membuatku tersenyum, dalam arti yang sebenarnya.

tapi bisa jadi “krupuk” itu hadir dari spontanitas tanpa perencanaan.
kau tahu, justru aku lebih suka jika ternyata alasan kedua inilah yang mendasari hadirnya kata-katamu itu.
dan itulah dirimu. seringkali muncul dengan kejutan-kejutan yang menyenangkan.
bahwa kau tidak tahu benar apa yang aku alami saat itu, sama sekali bukan masalah. yang lebih penting adalah, kata-kata itu mengalir dari kedalaman hatimu.

salam hormat denganmu,,


Sabtu, 07 November 2009

simpan senjamu itu!




masih duduk disampingku. kau terus saja meyakinkan agar aku menerima senja kemerahan yang kau bawakan. tapi maaf, kalau aku menerima saja senja yang kau bawa, akan timbul banyak persoalan.

seperti yang kukatakan sebelumnya, senja itu biru. dan akan selalu begitu. bukankah dulu kita pernah sepakat untuk menganggap setiap senja adalah biru, dan bukan yang lain? kau juga yang mengatakan bahwa biru itu rindu. seperti kita selalu merindukan sang senja. senja yang --untuk kesekian kalu aku katakan-- berwarna biru. tapi kenapa sekarang kau malah membawakan senja merah dan terus memaksaku untuk memercayainya?

persoalan yang lain adalah jika aku menerima senja yang kau bawa, senja kemerahan itu, bukankah akan terjadi bencana? betapa tidak. sekarang aku sedang bersama senja, senjaku yang biru. sedangkan kau juga membawa senja yang lain, senja berwarna kemerahan. hey, bodoh! jika aku menerimanya, maka akan ada dua senja! aku tidak bisa membayangkan muncul dua senja di suatu sore secara bersamaan. aku....
ah, sudahlah!

aku masih yakin kalau senja itu biru, seperti yang pernah kita sepakati. untuk saat ini, aku belum tertarik dengan senja kemerahan yang kau tawarkan. mungkin lain kali. jadi untuk sementara simpanlah saja dulu.

Jumat, 06 November 2009

sudahkah? ah, sepertinya belum..

manusia adalah bagian dari makrokosmos. hal tersebut perlu disadari mengingat egositas masih sering dipertontonkan. dengan dalih khalifah dan mendapatkan kepercayaan dari Sang Pencipta, manusia merasa sebagai makhluk paling unggul di alam raya. impak dari itu semua adalah munculnya hasrat untuk mengolah dan menguasai alam ini sekehendak hati --atau lebih tepatnya, nafsu. tumbuhan, hewan, laut, gunung, bukit dianggap sebagai benda an sich yang mesti tunduk di bawah kaum yang juga mengklaim dikaruniai hati nurani ini.

di dunia manusia, berlaku doktrin bahwa mereka memiliki cipta, rasa, dan karsa yang tidak dipunyai makhluk lain. oleh karena itulah peradaban manusia mengalami progress yang luar biasa. teknologi dan industri pun melaju tak terkendali.

namun, disadari atau tidak, tanpa ada pengendalian yang seimbang, hal tersebut sering kali menimbulkan hegemoni komunal. manusia merasa sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki hak untuk mengendalikan arus sejarah. tak terhitung kerusakan yang sering ditimbulkan oleh makhluk yang satu ini. bukan hanya sebagai kaum, tetapi juga sebagai individu, sebagai personal. bukan hanya sebagai manusia, tapi juga sebagai orang yang berpribadi.

setiap orang memang memiliki hak yang tidak dapat diganggu gugat. di satu sisi, hak asasi mengatur relasi yang selaras antarindividu. seseorang boleh mengambil haknya, asalkan tidak melanggar hak orang lain. tujuannya jelas, rasa keadilan.

di sisi lain, hak dianggap sebagai kewenangan. kewenangan yang kerap melahirkan pertikaian antarindividu karena sama-sama merasa memiliki hak atas sesuatu. dan karena sesuatu itu merupakan hak, maka hak itu harus diambil, bagaimanapun caranya. tidak mengherankan jika kemudian muncul vandalisme yang dipaksakan. saling injak. saling tikam. saling menguasai. saling menyakiti. sungguh mengerikan jika peradaban di bumi ini dibangun oleh hal-hal demikian.

mungkin hal tersebut dapat diminimalisasi jika tiap manusia selalu berusaha untuk selesai dengan dirinya terlebih dahulu.
selesai dengan diri sendiri. kalimat sederhanya yang ternyata aplikasinya dalam keseharian tidaklah sederhana.

bagimana memaknai selesai dengan diri tersebut? ternyata juga tidak mudah.
manusia yang telah selesai dengan dirinya tidak melulu akan menuntut haknya sebelum dia mampu memenuhi hak orang lain. mereka memilki pola pikir bahwa hak bukanlah kewenangan untuk menuntut, melainkan kewajiban untuk memberi dan memenuhi.

manusia yang selesai dengan dirinya sendiri akan lebih sering bersikap diam, berkontemlasi dan menasihati diri sendiri, bukannya berkoar-koar ceramah dan menasiahati orang lain. ya, kebiasaan berpendapat tidak pada porsinya tanpa disadari merupakan permasalah tersendiri.
dan permasalahannya sekarang adalah, bukankan saya juga terlalu banyak berpendapat dan malah menasihati Anda? sungguh tindakan yang lancang! haha...

Kamis, 05 November 2009

senja yang sama

kau datang dengan seutas senyum, yang entah apa maksudnya. tak seperti biasa. menghampiriku yang sedang duduk menanti datangnya senja. kau menggenggam cahaya kemerahan. entah apa. aku hanya bertanya dalam diam.

"ini senja. untukmu!" katamu sambil mengulurkan tangan kanan dengan cahaya kemerahan. "anggap saja ini sebagai permintaan maafku karena telah merusak senjamu untuk kesekian kalinya."

aku bergeming.

kau melanjutkan, "aku membawakanmu senja yang ramah."

aku tetap diam.

"lihatlah! senja ini merah," katamu. "senja yang telah lama hilang. senja yang dulu biasa kita nikmati bersama."

mandengar ucapanmu, aku pun menoleh.
"merah? tidak! senjaku biru. begitu biru,"
"jadi, kembalikanlah senja merahmu itu ke tempatnya semula!"

lalu kau tak berkata. aku pun tak berkata. kita berdua tak berkata. dan tiba-tiba menjadi murung. seperti biasa.

bukan aku tak menghargai perhatianmu. bukan pula tak menerima permintaan maafmu.
tapi aku tak setuju jika kau mengatakan senja berwarna merah. bagiku senja itu biru. akan selalu biru. dan akan tetap demikian. kau mengatakan bahwa senja merahmu itu akan mendamaikanmu mendamaikanku mendamaikan kita. maaf, aku tak tetarik dengan tawaranmu itu.

ah, sudahlah. lupakan semua ocehanku itu.

biarlah aku menikmati senja seperti biasa. denganmu. daripada aku mesti dinaungi senja merah itu. tanpamu. aku mulai damai dengan ketidakdamaian yang selalu kau tunjukkan. ya, biarlah senja yang tak terlampau luar biasa ini menghangatkanmu menghangatkanku menghangatkan kita. aku mulai menyukai senja ini. senja yang sederhana. senja yang apa adanya.

Selasa, 03 November 2009

tak ada yang berbeda dari senja



senja kali ini tak ada yang berbeda. masih sama. seperti yang sudah-sudah. mentari mulai mengistirahatkan diri menyimpan energi untuk bumi esok hari. langit temaram. beberapa ekor burung gereja kembali ke peraduan. ya, tak ada yang berbeda. tak ada yang luar biasa. alam masih berjalan seperti yang disabdakan. seiring waktu yang perlahan-lahan menggerus masa lalu.

hanya saja di senja ini kau datang. tanpa kata. tanpa bicara. tanpa senyuman hangat. tanpa sekuntum rindu yang kau peluk erat.
kau begitu dingin, kekasih. mengalahkan dinginnya malam yang mulai menjelang. kau merusak sensasi senja ini. kau menghalangi sinar mentari yang untuk beberapa saat masih menghangatkan. kau sengaja membuat senja ini menjadi berbeda.

kau mendustakan senja!

senja adalah awal kedamaian ketika aku mengistirahatkan energi yang tersisa. awal dimulainya ketentraman setelah seharian bersimbah peluh bertarung dengan dunia yang tak lagi ramah. dan tahukah, kau merusak segalanya. kau merusak senjaku. kau merusak duniaku, kekasih. dan kamu harus mempertanggungjawabkan semuanya. di hadapanku.

tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, senja kali ini tak ada yang berbeda. meski kau datang tanpa senyuman. meski kau mengganguku menikmati senja sore ini.
bukankan kau selalu melakukannya? ya, untuk kesekian kali kau mengkhianati senja ini. dan aku yakin kau pun akan mengulangnya pada potongan senja yang sama.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Untitled (3)




Sudah beranjak pagi. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk berkata jujur padamu.

Beberapa hari yang lalu aku menjanjikan sesuatu. Seutas janji yang akhirnya tidak kunjung aku rangkai. Maaf. Tapi aku yakin kamu pasti sudah menduga hal itu. Bukan kali pertama ini aku ingkar. Ya, aku sudah berbohong untuk kesekian kali. Dan untuk kesekian kali itu pula, kau kembali menaruh kepercayaan padaku. Entah apa alasannya.

Semestinya engkau marah. Kau berhak untuk marah. Berkali-kali kau dikecewakan oleh orang yang sama.

Timbul pertanyan dalam benakku, sebenarnya siapa yang tolol dalam hal ini.
Yang pasti, aku ingin sekali saja tidak membuatmu kecewa. Dan menurutku, sekaranglah waktunya.

Sebelumnya akan kukatakan kenapa akhirnya aku memutuskan untuk menulis traskripsi ini.

Sobat, kau memang tidak pernah memaksaku untuk hal ini. Tidak pernah memaksaku untuk berkata yang sejujurnya. Seperti biasa, kau hanya diam. Menunggu. Dan ketika sampai pada titik kebosanan, kau hanya akan berkata, ”Sudahlah, itu hakmu untuk mengatakan atau tidak mengatakan.” Hanya itu reaksi yang selalu kau tunjukkan. Hanya itu. Aku yakin berkali-kali kau kecewa. Meski kau berusaha keras untuk menutupinya, tetap saja aku tahu. Maaf sobat, kau terlalu jujur, meski untuk sekedar menyembunyikan kekecewaan yang kau rasakan.

Dengan semua hal yang aku katakan tersebut, mestinya tidak ada kondisi yang bisa menjadi semacam tekanan untukku: kewajiban untuk menuntaskan janjiku. Kenapa? Seperti kukatakan sebelumnya, kau tidak memaksa. Ya, sekali pun tidak.

Namun, perlu kau tahu, justru kerelaanmu itulah yang akhirnya mampu memaksaku untuk mengungkapkan hal ini. Kerelaan kau tunjukkan itu justru memberi tekanan yang luar biasa padaku.
Jangan berkesimpulan kalau aku ikhlas. Sama sekali tidak. Aku melakukan ini karena terpaksa. Keterpaksaan yang didorong oleh keikhlasan.

Keterpaksan dan keikhlasan. Keduanya seakan sangat kontradiktif. Tapi tidak bagiku. Paling tidak untuk pagi ini. Pun kalau benar keduanya bertentangan, itu hanya masalah istilah dan definisi yang bisa jadi terlampau subjektif. Aku tidak mau membicarakan subjektivitas itu lebih lanjut. Sama sekali itu tidak penting.

Aku akan membayar lunas hal yang aku janjikan padamu.
Tapi, apakah kau akan percaya?
Seperti yang aku katakan, kau terlalu jujur, sedangkan aku berada di kutub sebaliknya. Itu juga yang membuat kepercayaan sulit tumbuh dalam relasi antara kita berdua. Berulang kali aku membuatmu kecewa. Dan itu juga yang terjadi pagi ini. Seperti tidak tahu aku saja...




Kamis, 22 Oktober 2009

Terima Kasihku Padamu (1)

Tulisan ini kumulai dari sepenggal tulisan Dian Ritter, "Kesombongan adalah 'aku' yang membumbung terlalu tinggi."
Ketika membaca kalimat itu, aku teringat kepada seseorang yang teramat mengagungkan ke-aku-annya. Seseorang yang telah dengan sengaja menciptakan sekat antara "aku" dan "kalian yang bukan aku".

Individualis ataukah terkesan terlampau narsis?
Entahlah! Yang pasti, di saat sementara orang mengaharam-jahanamkan keduanya, ia malah meng-ada-kan, menghadirkannya untuk mempertahankan diri dari "yang bukan aku".
Menurutku dia sedang mengidap apa yang pernah dikemukkan Fromm sebagai self-centeredness syndrom yang akut.

Aku kira kamu tahu siapa orang yang aku maksud. Ya, itu aku.

Aku sering menyimpulkan bahwa aku adalah orang yang sangat individualis. Bukan berarti tak mengacuhkan orang lain. Apalagi anti-social. Sama sekali tidak. Individualis yang aku maksud lebih kepada sikap introvert yang parah: tidak mengijinkan seorang pun menjamah ruang pribadiku.

Tapi, selalu saja ada cela dalam diri setiap insan. Dan ketika cela itu tak dapat dikelola, ia akan semakin menjadi.

Ada kalanya aku kalah. Kapan? Ketika aku tak lagi mampu menghadapi ganasnya terjangan gelombang kehidupan yang kadang mengombang-ambingkanku seorang diri. Saat itulah aku sadar bahwa ke-aku-anku yang membumbung tinggi itu ternyata menyimpan kerapuhan.

Tapi, entah kenapa aku terlalu sombong untuk mengakui kekalahan itu. Kesombongan yang makin memperkokoh tembok pertahanan diriku: kesombongan itu sendiri. Dan dengan dalih kepercayaan diri, berkali-kali aku membunuh keinginan untuk menjalin relasi peribadi yang terbuka dengan orang lain.
Namun, bukan berarti serta merta aku dapat membebaskan diri dari belenggu itu. Membunuhnya. Menguburnya. Tidak! Dia tidak hilang begitu saja. Dia --meminjam istilah seorang teman-- hanya luntur, pudar, terkikis, tapi tak habis. Dan sewaktu-waktu dia akan kembali menyeruak, bahkan dengan determinasi yang makin tak terkendali.

Sampai suatu saat kamu berhasil ”memaksaku” untuk meninjau ulang semua yang kupahami. Tentang ke-aku-an, ke-diri-an, dan kebersamaan.

Kau telah berhasil menggiringku pada suatu titik dimana aku mulai menyadari betapa angkuhnya egoisme yang berlebihan.
Dan kini aku mulai percaya pada apa yang pernah dikatakan Ernest Cassirer dan Kiekergaard, "Manusia menghayati dirinya yang uniqum bukanlah dengan jalan menghindari kebersamaan, melainkan justru bersama dengan yang lain-lain."

Terima kasih kuucapkan padamu. Kini aku mulai mendekonstruksi semua pemikiran dan keyakinan yang kuanut sebelumnya. Aku mulai setuju dengan pendapatmu bahwa manusia mesti menjalin relasi yang hangat dengan yang lain kalau tidak ingin mati dalam dingin, dalam kesendirian yang beku.

Salam hormat denganmu!

Rabu, 21 Oktober 2009

Harapan: Imaji yang Kian Menyesatkan!




”Man with hopeless forever!”, begitu seorang sahabat dengan masif pernah menuduhku.

Dan entah apa hubungannya, selang bebrapa waktu datang seorang teman yang juga mengatakan bahwa dia memilki berjuta harapan, baik itu yang realisitis maupun yang mustahil untuk meng-ada.

Maaf, kawan! Kau hanya mengejar imajinasi belaka. Tidak lebih dari sekedar ilusi. Dan sepertinya aku sama sekali tidak tertarik dengan itu semua. Fromm pun pernah mengatakan bahwa seseorang tidak akan pernah sampai pada sebuah kesimpulan ketika ia mengejar imajinasinya.

Harapan. Aku heran kenapa orang-orang begitu tolol hingga harus mengagung-agungkannya. Orang yang telah menggenggam harapan merasa bahwa mereka juga telah menggenggam kehidupan –paling tidak kehidupannya sendiri. Konyol! Kenapa mereka mau saja diperdaya. Bukankah harapan sama dengan mimpi? Dan mimpi --dalam bentuk apapun-- merupakan hal paling absurd dalam kehidupan yang pernah ada.

“Harapan adalah kejahatan paling buruk karena ia hanya memperpanjang kesengsaraan manusia.” Entah apa sebabnya, aku mulai mengamini pendapat Nietzsche itu.
Harapan, pada titik tertentu, menjadi semacam fenomena yang asing bagiku. Bukan karena harapan itu tak pernah aku jumpai, namun justru harapan yang ada tak pernah benar-benar meng-ada, lalu kini berhamburan entah ke mana. Dan tak ada sedikit pun keinginan untuk kembali merajutnya dalam jaring-jaring kehidupanku.

Harapan merupakan setan yang paling angkuh. Atau meminjam istilah Muhidn M. Dahlan, ”penjahat berbaju malaikat.”
Dia menawarkan hayalan serta fatamorgana yang luar biasa menggoda. Tapi ketika kita terjatuh dikecewakan oleh harapan yang kita bangun sendiri, dia akan berlalu begitu saja. Tentu dengan sesungging senyum nyinyir yang akan membuat kita menjadi manusia yang paling tolol setolol-tololnya. Haha..





Rabu, 14 Oktober 2009

Tatapan: Segaris Batas yang Terlepas (2)

Tatapan seolah menunjukkan sebuah jalinan komunikasi yang intens, meski pada dasarnya yang dibutuhkan bukanlah sekedar intensitas. Ya, bukan intensitas, namun munculnya kepekaan dari kedalaman batin yang mampu menjadikan dua entitas begitu manja dalam jalinan komunikasi yang sebenarnya masih terlampau entah.

Dalam relasi tersebuat ada garis tipis yang bernama "batas". Dan ketika garis batas ini tidak mampu dikelola, maka yang muncul kemudian adalah vandalisme imajinal yang kadangkala begitu liar.

Sabtu, 22 Agustus 2009

Takdir: Ketetapan, Pilihan, ataukah Perjuangan?

--traskripsi tentang kegelisahan seorang insan yang memperjuangkan sebentuk harapan. Harapan yang absurd karena terjerat sindrom keentahan yang kian akut









Percayakah kamu pada takdir?
Jika kamu mengembalikan pertanyaan itu padaku, maka jawabku: aku percaya. Bahkan sangat percaya. Apalagi dengan takdir itu kita, aku dan kamu, dipertemukan.

Ketetapan Tuhan, begitu orang sering mendefinisikannya. Mungkin benar. Aku berkata demikian sebab di dunia ini tak ada satu pun definisi yang dapat mewakili atau menggambarkan dengan tepat sebuah hakikat. Yang pasti, tak ada seorang pun yang dapat mengingkarinya. Aku yakin bahwa hidup dan kehidupan yang kita jalani memang telah digariskan oleh-Nya.

Namun, apa yang telah aku sebutkan tadi tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran atas segala tindak keputusasaan, dalam bentuk apapun. Kita mesti memperjuangkan apa yang kita dambakan –atau kamu sering menyebutnya dengan “harapan”. Ya, dunia menuntut kita untuk terus dinamis, terus berubah. Termasuk dalam menggapai ci(n)ta (..?).

Lalu, di manakah letak takdir Tuhan?
Takdir berada di ujung semua usaha yang telah kita lakukan. Setelah berusaha maksimal, barulah hasilnya kita pasrahkan pada-Nya. Itulah tawakkal. Dan semua itu tidaklah melawan takdir. Justru sebaliknya, dengan hal itu kita menjalani takdir kita sendiri (aku kira kamu masih ingat ketika suatu sore kita perbincang tentang Umar ibn Khattab).
Tak ada yang akan kita dapatkan kecuali apa yang telah kita usahakan. Maka, kita tidak boleh mengggantungkan diri kepada nasib, apalagi berharap ada bintang jatuh yang akan mengabulkan semua keinginan kita. Pun kalau memerlukan keajaiban, janganlah sekedar menunggunya. Ya, janganlah menunggu keajaiban, namun ciptakanlah keajaiban itu.

Lalu, apakah takdir itu juga menginginkan sepenggal cerita akan terus berlanjut?

Entahlah!


Man with hopeless, begitu kamu pernah menuduhku.
Maka, jika kamu menanyakan, akankah sebuah cerita terus berlanjut, maka akan aku jawab: entahlah..

“Entah” bukanlah kemutlakan sebuah absurditas. Bukan pula berarti tiadanya kemungkinan. Justru “entah” itu menghimpun beragam kemungkinan. Mungkin benar. Mungkin salah. Mungkin iya. Mungkin tidak. Mungkin mungkin. Mungkin juga entah. Ya, kemungkinan yang entah.

Keentahan dalam diri itulah yang membuatku teramat takut untuk melanjutkan cerita. Untuk terus berada di titian alurnya.
Tidak hanya itu, keentahan tersebut jugalah yang membuatku begitu takut jika aku harus mengakhiri cerita itu, atau membiarkannya tetap terperangkap dalam sepotong waktu yang juga entah. Ketika itu terjadi, maka sebuah cerita takkan ada lagi. Sebab tak ada lagi energi yang tersisa untuk kembali memulainya.

Akankah sebuah cerita akan berhenti sampai di sini?
Ataukah cerita ini memang harus segera diakhiri?
Apakah akan kubiarkan takdir mengakhiri ceritaku?



Tidak! Aku akan memperjuangkan takdirku sendiri. Aku percaya bahwa aku masih memiliki energi untuk melanjutkan cerita, merangkai jejaringnya hingga menjadi untaian kisah yang akan mengabadikan cerita kita, aku dan kamu. Tidak juga kubiarkan waktu menentukan alurnya, sebab seperti yang dikatakan Ahmad Tohari, “menyerah pada kunci waktu adalah kelemahan dan keputusasaan yang harus dibuang jauh.” Akan kubunuh keentahan yang ternyata telah menghempaskanku dalam perangkap ketakutan.
Takdir memang sebuah ketetapan: ketetapan yang memperbolehkan, bahkan mengharuskan aku untuk memilih. Aku memang harus memilih. Memilih takdirku sendiri, lalu menjalaninya. Sebuah pilihan yang kemudian menuntutku untuk memperjuangkannya mati-matian.