"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Kamis, 05 November 2009

senja yang sama

kau datang dengan seutas senyum, yang entah apa maksudnya. tak seperti biasa. menghampiriku yang sedang duduk menanti datangnya senja. kau menggenggam cahaya kemerahan. entah apa. aku hanya bertanya dalam diam.

"ini senja. untukmu!" katamu sambil mengulurkan tangan kanan dengan cahaya kemerahan. "anggap saja ini sebagai permintaan maafku karena telah merusak senjamu untuk kesekian kalinya."

aku bergeming.

kau melanjutkan, "aku membawakanmu senja yang ramah."

aku tetap diam.

"lihatlah! senja ini merah," katamu. "senja yang telah lama hilang. senja yang dulu biasa kita nikmati bersama."

mandengar ucapanmu, aku pun menoleh.
"merah? tidak! senjaku biru. begitu biru,"
"jadi, kembalikanlah senja merahmu itu ke tempatnya semula!"

lalu kau tak berkata. aku pun tak berkata. kita berdua tak berkata. dan tiba-tiba menjadi murung. seperti biasa.

bukan aku tak menghargai perhatianmu. bukan pula tak menerima permintaan maafmu.
tapi aku tak setuju jika kau mengatakan senja berwarna merah. bagiku senja itu biru. akan selalu biru. dan akan tetap demikian. kau mengatakan bahwa senja merahmu itu akan mendamaikanmu mendamaikanku mendamaikan kita. maaf, aku tak tetarik dengan tawaranmu itu.

ah, sudahlah. lupakan semua ocehanku itu.

biarlah aku menikmati senja seperti biasa. denganmu. daripada aku mesti dinaungi senja merah itu. tanpamu. aku mulai damai dengan ketidakdamaian yang selalu kau tunjukkan. ya, biarlah senja yang tak terlampau luar biasa ini menghangatkanmu menghangatkanku menghangatkan kita. aku mulai menyukai senja ini. senja yang sederhana. senja yang apa adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar