"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Rabu, 18 November 2009

Tatapan: Segaris Batas yang Terlepas (1)




Tatapan. Instrument yang impresif menyampaikan pesan. Sebuah pesan tersirat, tapi karena tatapan, ia menjadi begitu agresif. Bahkan karena agresivitasnya itu, ia menjadi sulit dikelola, apalagi dikendalikan.
Dan dengan tatapan itu, aku mengenal, kemudian mengagumimu. Kekaguman yang entah aku sadari atau tidak, mulai menggiringku untuk lebih dalam menyelami kisahmu.

Salahkah?
Salahkah aku dengan kekaguman itu?

Tidak! Tidak ada satu pun otoritas di dunia ini yang berhak memaksa siapapun untuk mengagumi atau tidak mengagumi sesuatu.

Mungkin bisa saja menjadi salah manakala kekaguman itu menjerumuskan kita pada keinginan untuk memiliki –atau aku lebih suka menyebutnya dengan istilah “menguasai”. Kepemilikan, penguasaan, atau apapun namanya, hanya akan merusak harmonisasi dari kekaguman yang aku sebutkan di awal tadi. Ituleh ego.

Namun, apakah dengan dasar itu, ego dapat disalahkan begitu saja?
Bukankah kita manusia biasa? – bahkan sangat biasa. Dan karena biasa itu, kita tidak akan mungkin menghapuskan ego, yang mau tidak mau sudah menjadi bagian dari diri manusia.
Bukankah ego tidak selamanya negatif? Justru egolah yang menjadikan manusia “manusiawi’. Ego adalah semangat hidup.
Dan ego pulalah yang mendorongku untuk menulis transkripsi ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar