"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Selasa, 17 November 2009

Untitled (1)




Aku baru saja mehabiskan sebatang rokok ketika memutuskan untuk meraih secarik kertas, lalu mengguratkan kata-kata dan berkeinginan untuk menuliskan apa yang kurasakan saat ini. apakah kamu bersedia menjadi teman berceritaku? Aku harap dari mulutmu, atau paling tidak, hatimu, akan keluar kata, ya.

Malam ini makin larut. Dan kamu tahu, aku menyukai nuansanya. Sunyi. Ya, aku menyukai kesunyian. Memberiku sensasi yang begitu berbeda.
Sunyi. Dan bukan gelap. Keduanya berbeda. Aku yakin kamu tahu itu. Dan akan dianggap ngelantur kalau aku mengatakan malam ini gelap. Bagaimana aku bisa bilang gelap kalau lampu di ruangan ini menghidupiku sejak sore tadi. Sunyi, meski alunan musik dari tape recorder yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat dudukku mengaluarkan bunyi-bunyi yang teramat asing buatku --paling tidak, untuk malam ini.

Entah berapa lembar kertas yang telah aku buang ke temat sampah. Tulisan tanganku memang tidak terlampau bagus. Tapi bukan itu masalahnya. Bukan pula karena aku tak mampu menumpahkan apa yang ada di pikiran dan hatiku. Sama sekali bukan. Aku hanya ingin agar apa yang aku tulis dapat dengan mudah engkau pahami. Seperti kau ketahui, aku selalu ingin memberi yang terbaik buatmu.

Maaf, kalau aku malah membicarakan malam, kertas, sampai tae recorder. Meskipun sebenarnya mereka bukannya tidak penting. Mereka pulalah yang menggerakkanku untuk menceritakan sesuatu kepadamu. Sepenggal cerita kehidupanku. Sepenggal cerita yang sebelumnya tidak pernah aku bagi dengan orang lain.

Aku masih ragu harus memulainya dari mana. Yang pasti, malam ini, ceritaku harus hadir di lembar kertas ini. Kertas. Kenapa kertas?
Aku bukan orang yang pandai berkata-kata verbal. Aku takut. Aku tidak terlalu nyaman dengan itu semua. Itulah yang membuatku lebih suka bercerita padamu lewat goresan pena. Sedikit mengutip ungkapan dari seseorang yang kuuanggap sebagai guru, "yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlau bersama angin."

Sebentar. Aku merasa kurang nyaman dengan posisi dudukku saat ini.

Kursi ini masih sama dengan kursi yang aku duduki berhari-hari sebelumnya. Masih sama dengan kursi yang aku duduki berhari-hari yang lalu ketika mulai muncul keinginan untuk berbagi cerita denganmu.
Sebuah meja kecil di depanku. Di atasnya berserak buku, plastik, gelas, dan sebungkus rokok yang isinya tinggal bebrapa batang. Dan yang terakhir aku sebut, tidak pernah mengeluh ketika berhari-hari kupaksa untuk menemaniku. Ya berhari-hari. Aku bukan orang yang cerdas, yang dalam satu putaran waktu dapat mengahasilkan sebuah tulisan untuk dikisahkan kepada orang lain --meski kamu bukan orang lain bagiku.

Huft..
Jam dinding yang menggantung di tembok bercat putih ini sudah menunjukkan pukul 12.55. Malam ini kian larut. Aku sudah mengantuk. Aku kira kau pun begitu. Tapi bukankah tadi aku ingin mengisahkan sesuatu kepadamu? Baiklah.

Aku tidak akan mengingkari janji. Seperti kata orang-orang di luar sana, janji adalah hutang. Dan aku akan membayarnya. Tapi tidak untuk malam ini. Mataku sudah tidak lagi mau diajak kompromi. Jadi, akan aku lanjutkan esok. Aku janji. Percayalah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar