"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Minggu, 26 September 2010

.:: Cukuplah Sedikit Memaki





Nama binatang berkaki empat itu hampir saja melompat keluar dari mulutmu. Untunglah, dia masih merasa nyaman dalam dekap hangat hati dan emosi.

Saat-saat emosional bisa jadi momen yang fantastis. Betapa tidak. Kita dihadapkan pada semacam energi yang entah apa namanya. Energi diam sekaligus membara. Pernyataan ini terkesan kontradiktif. Namun aku masih belum menemukan istilah yang pas sebagai padanannya.

Di titik itulah ada penat yang serta-merta mesti dikeluarkan. Dan memang ekspresinya macam-macam. Dari mulai tidur, terpekur, hingga ledakan beraneka tindak dan kata-kata.

Itulah manusia, kawan. Jadi tak perlu kau mencaci andai kukeluarkan kata maki. Kita sama. Ya. Sama sekali tak beda. Lalu apa hakku melarang-larang dirimu? Ah, ada-ada saja.


Salam,

Senin, 06 September 2010

_ bukan hasrat menguasai. hanya ingin mengabdi,




Sepenggal pernyataan yang menurutku konyol itu masih saja terngiang. Ini bukan tentang apa pretensi dibalik kata-kata itu. Namun, lebih kepada alasan kenapa kau mengucapkannya.

Bahwa konsep pengabdian itu kau pahami, kau yakini, dan kau jalankan, aku tahu. Sedari dulu kau memang begitu: percaya bahwa kebahagiaan sejati akan lahir dari kesucian rahim pelayanan serta ketulusan segenggam pengabdian.

Meski kau bukan seorang masokhis -- dan kau pernah menentang keras ketika kumenuduhmu seperti itu, tapi apa yang kau praktikkan selama ini menjadi alasan kenapa aku pernah mengucapkannya.
Kau terlalu naif. Kau terlalu pasrah. Kau rela menyakiti diri kalau perlu, jika itu bisa membuat orang lain menderakan tawa.
Pemahaman semacam itu terus ada di hati dan jiwamu hingga sekarang, dan entah sampai kapan.
Aku tak punya kuasa untuk mengubahnya. Tak sekalipun ingin mengubahnya.

Ini tentang keyakinan. Keyakinan yang telah mengajarkan, lalu membentukmu hingga menjadi dirimu yang sekarang. Itu membanggakan, kawan.

Senang mengenalmu,

Senin, 30 Agustus 2010

.:: maafkan, senja






Masih ingatkah, sore itu kau pernah membawa segenggam senja kemerahan untukkku? 

Entah apa yang ada di pikiranku. namun, alih-alih terucap kata terima kasih, kutolak senjamu mentah-mentah. Dan dengan dengan setengah memaki, kukatakan bahwa senja merahmu itu omong kosong. Tak ada yang seperti itu. Pun kalau ada, tak sedikitpun kumenginginkannya.

Aku bersikeras bahwa senja itu biru. Ya. seperti yang sudah-sudah. seperti yang pernah kuyakini sebelumya.



Anehnya, tiba-tiba kuteringat senja kemerahan yang pernah kau berikan. Kau tahu, aku penasaran sekarang. Begitu penasaran, senja kemerahan seperti apa yang ada di genggam tanganmu itu. Aku bahkan yakin, senja itu istimewa. Begitu istimewa. Kalau tidak,  kau takkan menghadiahkannya. "Untukmu," katamu sore itu. 
Aku mengerti. 
Aku mengerti kalau kau tak pernah membawakan sesuatu yang biasa. seperti yang sudah-sudah –begitu juga perhatian yang kau berikan padaku, sungguh tak biasa.

Aku menyesal.

Apakah kau akan memaafkanku? Itu harapanku. Hati mengatakan, iya, kau akan memaafkan. Kenapa? Karena kau baik. Terlalu baik.

Jujur saja, aku tak biasa mengucap permintaan maaf. Tapi tidak untuk kali ini. Aku mesti membuang jauh tumpukan kesombongan yang senantiasa membuatku jadi manusia yang bebal, tentu saja dengan rangkaian kesombongan yang menyertainya.



Hanya saja, permasalahannya tak berhenti sampai di situ. Tak berhenti pada apakah kau mau memaafkan atau tidak memaafkan.
Ya. Andai saja kau menerima permintaan maafku, belum tentu senja kemerahan itu juga akan memaafkan. Sepertinya dia murka. Aku pernah mencampakkannnya sia-sia.


Untukmu, aku bersedia mengakui kesalahan dan membuang segenap kesombongan. Tapi untuk senja itu, entahlah! Masih kupertimbangkan.



Minggu, 15 Agustus 2010

peri kecil



peri kecil. aku mulai suka memanggilmu dengan nama itu. entah mulai kapan, namun aku merasa nyaman dengan nama itu. aku berharap kau juga merasakan hal yang sama. pun kalau tidak, itu bukan alasan bagiku untuk serta merta melupakannya. bukan memaksa. tapi karena aku memang suka. itu saja. dan kalau aku sudah suka, mau apa coba?

bukan berarti pula aku tidak suka dengan namamu. sama sekali bukan.

asal muasal nama itu kusematkan padamu, aku sendiri tidak tahu. keluar begitu saja. serius. waktu itu aku sedang menulis transkripsi tentang dirimu, lebih tepatnya hubungan kita berdua. lalu ”peri kecil” itu keluar begitu saja. begitu alami. percayalah!

aku tidak punya waktu untuk ”menciptakan” nama baru untukmu. dan sejujurnya aku tidak terlalu pintar dalam hal karang-mengarang, apalagi yang berkaitan dengan nama yang menurutku masuk dalam wilayah yang sangat personal. lagi pula, kau telah memiliki nama yang indah menurutku. jadi tak ada gunannya aku begitu serius berlama-lama memikirkan nama baru untukmu.

kenapa ”peri kecil”? aku sendiri tidak tahu alasannya. seperti yang telah aku katakan sebelumnya, hal itu terjadi begitu alami. apa adanya. bisa jadi itu merupakan refleksi atas sifat malaikat yang kau tunjukkan padaku selama ini.

seandainya kau masih memaksa dan ingin tahu ihwal hadirnya nama itu, akan aku jelaskan nanti pada transkripsi berikutnya.

salam,,

Jumat, 13 Agustus 2010

.:: mbuh.com






hei, ini bukan soal kesalahan pemahaman. hanya saja sering dimunculkan pemutlakan atas itu semua. bahwa 'sesuatu' haruslah menjadi 'sesuatu' itu. dan yang bukan 'sesuatu' mesti berada di wilayah lain di luar 'sesuatu'. mestinya tidak ada kemutlakan di dunia ini. sama sekali tidak ada hal absolut ketika berbicara di ranah manusia dan kemanusiaan. semuanya serba relatif. pun kalau ada yang absolut, tak lain adalah kerelatifan itu sendiri. ya,relativitas yang absolut.

ketika dialektika sudah terperangkap dalam satu 'wilayah', maka yang ada hanyalah kekerdilan yang parah. entah mengapa banyak yang menjaga, membatasi, dan mengekang 'wilayahnya' sendiri. maksud hati ingin menjaga kemurnian, namun ternyata itu hanya akan mengisolasi nurani yang sebenarnya memiliki wilayah yang tak terdefinisi.

pemahaman seperti itu hanya akan memunculkan sikap diam. dan di manapun, diam adalah kesunyian yang bisu. di dalamnya hanya ada kekosongan yang mengendap. kekosongan yang luput dari hingar-bingar ke-kita-an. tapi bukankah, "diam adakah emas?!". --sial! lagi-lagi peribahasa ini dimutlakkan.

Selasa, 03 Agustus 2010

.:: cinta yang memerdekakan

"memilih hidup dalam cinta adalah sebuah pilihan untuk masuk dalam ring pertaruhan karena hidup menuntut pertaruhan. pertaruhan dengan apa? pertaruhan mengukuhkan imajinasi: apakah imajiansi itu mengayakan ruhani atau mengenyahkan ruhani."
-- muhidin m. dahlan











kamu pernah menanyakan arti cinta. sebuah tema purba yang masih saja sering diperbincangkan, bahkan diperdebatkan. dan sepertinya dialektika itu akan selamanya mengabadi.

aku tidak tahu persis apa itu cinta.
pun kalau aku tahu, cinta yang aku pahami bisa saja berbeda dengan cinta yang kamu maksud. ya, ada beragam jenis cinta. beragam pula definisinya. tergantung dari sudut mana individu memandang, lalu memaknainya.

erich fromm pernah mengemukakan ada dua modus yang berhubungan dengan eksisitensi manusia dalam menjalani hidupnya. pertama, modus "memiliki" (to have). seseorang dengan pola hidup "to have" merasa bahagia, atau lebih tepatnya, senang -- sebab bahagia dan senang hakikatnya berbeda-- manakala memperoleh, memiliki, dan tentunya menguasai sesuatu yang dia dambakan. dan sebaliknya, batinnya akan tersiksa jika sesuatu itu tidak dia miliki atau tidak tunduk padanya. inilah yang aku sebut sebagai 'ketertindasan'. pikiran selalu digelayuti oleh nafsu berupa tekanan-tekanan untuk memuaskan diri sendiri.

inilah ego. ego yang membuat orang melakukan tindakan di luar lingkaran cinta. ego yang lebih berorientasi pada diri sendiri tanpa mau peduli terhadap impak yang ditimbulkannya kemudian.

cinta dengan modus "memiliki" adalah cinta yang dangkal. pun kalau mencapai kepuasan, itu hanya sebatas orgasme cinta yang semu. cinta seperti ini tidak akan mampu membawa seseorang pada kebahagiaan hakiki. terlampau absurd manakala kebahagiaan digantungkan pada sesuatu yang ternyata malah memenjarakan kehidupan.

lawan dari pola hidup memiliki adalah pola hidup "menjadi" (to be). pencinta sejati menganut pola hidup seperti ini. ia tidak menggantungkan kebahagiaan hidup pada kepemilikan. ia akan mencintai secara aktif dan kreatif. inilah yang pernah aku katakan sebagai kemampuan untuk mencintai tanpa adanya pretensi apapun, termasuk pengharapan untuk dicintai. ia akan mengerahkan segenap energinya untuk membahagiakan yang dicintainya. tulus. setulus-tulusnya.

sahabatku yang baik,
cinta itu memerdekakan. membebaskan dari segala jerat dan kungkungan yang memenjarakan jiwa. ketika kita "berada" dalam cinta --dan bukan sekedar "jatuh cinta"--, selayaknya kita memperoleh kemerdekaan itu. namun, jika yang terjadi justru ketertindasan, dalam bentuk apapun, maka pemahaman akan cinta itu perlu dikaji ulang. sebab cinta, kata muhidin lagi, tidak akan dapat hidup berdampingan dengan alam ketertindasan. cinta sejati tidak akan mungkin dapat tumbuh di ruang yang antitesis dengannya.

dari apa yang pernah kita perbincangkan, sepertinya kamu belum sepenuhnya mampu membebaskan diri. kamu --maaf-- belum merdeka.

apa tandanya kamu belum sepenuhnya merdeka?
banyaknya keinginan. ya, kamu memproduksi dan menimbun keinginan yang makin menggunung.
bukan berarti kita tidak boleh memiliki harapan dan keinginan. kita boleh, bahkan mesti memilikinya. kenapa? seperti yang pernah aku kemukakan sebelumnya, kita adalah manusia biasa. sangat biasa. kita harus tetap menanam harapan. sebab manusia tanpa harapan, ia mayat berjalan, begitu seorang budayawan pernah berkata.
namun di tengah kepungan harapan itu, entah sadar atau tidak, kamu telah melahirkan fantasi-fantasi yang entah. dan ketika fantasi-fantasi itu tak juga meng-ada dalam ruang hidupmu, aku takut kalau kamu tak lagi memiliki energi untuk berharap.

sekian dulu. maaf kalau terlalu panjang dan terkesan meng-khutbah.

Rabu, 16 Juni 2010

.:: ingin menyapamu senja ini




ini bukan tentang aku, dia , mereka, atau kalian semua. ini tentang kamu dan dirimu.

kamu dengan segala kisah yang menyertai hidupmu. kamu dengan segala kebajikan serta kebejatan yang mengesankan.



seperti yang kau ketahui sebelumnya, aku bukanlah seseorang dengan ingatan yang baik. mudah bagiku untuk (tidak) sengaja melupakan apa atau siapa yang kutemui beberapa detik sebelumnya.
entah apakah aku seorang pelupa, sombong, atau apapun namanya. dan terserah juga kau menyebutnya bagaimana. yang pasti aku tak ingin memenuhi memori di otakku dengan segala hal yang tak terlampau penting.
lalu apakah kau adalah satu dia antara sekian hal yang tidak penting yang kusebutkan? kukira kau bisa menerkanya.

dan setelah semua memori ke-kita-an kita terhapus dan tak lagi terdengar gaungnya di jagad raya, kini kumengalami sindrom kerinduan yang luar biasa. mungkin itulah sebab kenapa aku ingin menyapamu senja ini.

salam,