"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Jumat, 13 Agustus 2010

.:: mbuh.com






hei, ini bukan soal kesalahan pemahaman. hanya saja sering dimunculkan pemutlakan atas itu semua. bahwa 'sesuatu' haruslah menjadi 'sesuatu' itu. dan yang bukan 'sesuatu' mesti berada di wilayah lain di luar 'sesuatu'. mestinya tidak ada kemutlakan di dunia ini. sama sekali tidak ada hal absolut ketika berbicara di ranah manusia dan kemanusiaan. semuanya serba relatif. pun kalau ada yang absolut, tak lain adalah kerelatifan itu sendiri. ya,relativitas yang absolut.

ketika dialektika sudah terperangkap dalam satu 'wilayah', maka yang ada hanyalah kekerdilan yang parah. entah mengapa banyak yang menjaga, membatasi, dan mengekang 'wilayahnya' sendiri. maksud hati ingin menjaga kemurnian, namun ternyata itu hanya akan mengisolasi nurani yang sebenarnya memiliki wilayah yang tak terdefinisi.

pemahaman seperti itu hanya akan memunculkan sikap diam. dan di manapun, diam adalah kesunyian yang bisu. di dalamnya hanya ada kekosongan yang mengendap. kekosongan yang luput dari hingar-bingar ke-kita-an. tapi bukankah, "diam adakah emas?!". --sial! lagi-lagi peribahasa ini dimutlakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar