"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Senin, 30 Agustus 2010

.:: maafkan, senja






Masih ingatkah, sore itu kau pernah membawa segenggam senja kemerahan untukkku? 

Entah apa yang ada di pikiranku. namun, alih-alih terucap kata terima kasih, kutolak senjamu mentah-mentah. Dan dengan dengan setengah memaki, kukatakan bahwa senja merahmu itu omong kosong. Tak ada yang seperti itu. Pun kalau ada, tak sedikitpun kumenginginkannya.

Aku bersikeras bahwa senja itu biru. Ya. seperti yang sudah-sudah. seperti yang pernah kuyakini sebelumya.



Anehnya, tiba-tiba kuteringat senja kemerahan yang pernah kau berikan. Kau tahu, aku penasaran sekarang. Begitu penasaran, senja kemerahan seperti apa yang ada di genggam tanganmu itu. Aku bahkan yakin, senja itu istimewa. Begitu istimewa. Kalau tidak,  kau takkan menghadiahkannya. "Untukmu," katamu sore itu. 
Aku mengerti. 
Aku mengerti kalau kau tak pernah membawakan sesuatu yang biasa. seperti yang sudah-sudah –begitu juga perhatian yang kau berikan padaku, sungguh tak biasa.

Aku menyesal.

Apakah kau akan memaafkanku? Itu harapanku. Hati mengatakan, iya, kau akan memaafkan. Kenapa? Karena kau baik. Terlalu baik.

Jujur saja, aku tak biasa mengucap permintaan maaf. Tapi tidak untuk kali ini. Aku mesti membuang jauh tumpukan kesombongan yang senantiasa membuatku jadi manusia yang bebal, tentu saja dengan rangkaian kesombongan yang menyertainya.



Hanya saja, permasalahannya tak berhenti sampai di situ. Tak berhenti pada apakah kau mau memaafkan atau tidak memaafkan.
Ya. Andai saja kau menerima permintaan maafku, belum tentu senja kemerahan itu juga akan memaafkan. Sepertinya dia murka. Aku pernah mencampakkannnya sia-sia.


Untukmu, aku bersedia mengakui kesalahan dan membuang segenap kesombongan. Tapi untuk senja itu, entahlah! Masih kupertimbangkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar