"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Jumat, 20 November 2009

aku, dia, dan senja yang biru




sudah beberapa hari, aku tak bisa menikmati senja biruku lagi. entah apa sebabnya. namun aku punya keyakinan bahwa senja biruku tak hilang. ia masih milikku. dan akan selalu begitu.

hingga suatu ketika, datanglah dia. ya, dia yang bukan kau. kalian berbeda, jika kau seringkali datang dalam diam, dia tidak demikian. senyum senantiasa mengembang dari bibirnya, makin menegaskan wajahnya yang memancar ayu. aku merasa agak canggung. bukan apa-apa. biasanya aku ditemani dirimu yang murung, sedangkan kali ini ditemani dia yang begitu ceria.

saat itu pun aku tak tahu penyebabnya. sampai suatu saat aku bertanya, apa yang menyebabkan dia terlihat bahagia. dia mengatakan sesuatu yang benar-benar mengagetkanku, “aku sedang menunggu senjaku. senja biruku, aku percaya sebentar lagi dia akan datang.”

aku tercengang.

senja biru? bukankah senja biru milikku? bagaimana mungkin dia memiliki senja yang sama? ataukah senja yang tak sama? jika demikian, berarti ada dua senja berwarna biru. ah, tidak mungkin. atau jangan-jangan dia telah mencuri senja biruku..

belum sempat aku berkata, dia melanjutkan, “senja biru itu tak biasa bagiku. sangat istimewa. oleh karena itu, aku merindukannya.”

dan di titik ini, aku kembali teringat padamu. aku merasa perlu membicarakan hal ini denganmu. mungkin kau tahu jawaban atas pertanyaanku. pun kalau tidak, kau pasti masih bersedia menemaiku. merenung. seperti yang biasa kita lakukan berdua di kala senja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar