"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Sabtu, 31 Oktober 2009

Untitled (3)




Sudah beranjak pagi. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk berkata jujur padamu.

Beberapa hari yang lalu aku menjanjikan sesuatu. Seutas janji yang akhirnya tidak kunjung aku rangkai. Maaf. Tapi aku yakin kamu pasti sudah menduga hal itu. Bukan kali pertama ini aku ingkar. Ya, aku sudah berbohong untuk kesekian kali. Dan untuk kesekian kali itu pula, kau kembali menaruh kepercayaan padaku. Entah apa alasannya.

Semestinya engkau marah. Kau berhak untuk marah. Berkali-kali kau dikecewakan oleh orang yang sama.

Timbul pertanyan dalam benakku, sebenarnya siapa yang tolol dalam hal ini.
Yang pasti, aku ingin sekali saja tidak membuatmu kecewa. Dan menurutku, sekaranglah waktunya.

Sebelumnya akan kukatakan kenapa akhirnya aku memutuskan untuk menulis traskripsi ini.

Sobat, kau memang tidak pernah memaksaku untuk hal ini. Tidak pernah memaksaku untuk berkata yang sejujurnya. Seperti biasa, kau hanya diam. Menunggu. Dan ketika sampai pada titik kebosanan, kau hanya akan berkata, ”Sudahlah, itu hakmu untuk mengatakan atau tidak mengatakan.” Hanya itu reaksi yang selalu kau tunjukkan. Hanya itu. Aku yakin berkali-kali kau kecewa. Meski kau berusaha keras untuk menutupinya, tetap saja aku tahu. Maaf sobat, kau terlalu jujur, meski untuk sekedar menyembunyikan kekecewaan yang kau rasakan.

Dengan semua hal yang aku katakan tersebut, mestinya tidak ada kondisi yang bisa menjadi semacam tekanan untukku: kewajiban untuk menuntaskan janjiku. Kenapa? Seperti kukatakan sebelumnya, kau tidak memaksa. Ya, sekali pun tidak.

Namun, perlu kau tahu, justru kerelaanmu itulah yang akhirnya mampu memaksaku untuk mengungkapkan hal ini. Kerelaan kau tunjukkan itu justru memberi tekanan yang luar biasa padaku.
Jangan berkesimpulan kalau aku ikhlas. Sama sekali tidak. Aku melakukan ini karena terpaksa. Keterpaksaan yang didorong oleh keikhlasan.

Keterpaksan dan keikhlasan. Keduanya seakan sangat kontradiktif. Tapi tidak bagiku. Paling tidak untuk pagi ini. Pun kalau benar keduanya bertentangan, itu hanya masalah istilah dan definisi yang bisa jadi terlampau subjektif. Aku tidak mau membicarakan subjektivitas itu lebih lanjut. Sama sekali itu tidak penting.

Aku akan membayar lunas hal yang aku janjikan padamu.
Tapi, apakah kau akan percaya?
Seperti yang aku katakan, kau terlalu jujur, sedangkan aku berada di kutub sebaliknya. Itu juga yang membuat kepercayaan sulit tumbuh dalam relasi antara kita berdua. Berulang kali aku membuatmu kecewa. Dan itu juga yang terjadi pagi ini. Seperti tidak tahu aku saja...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar