"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Kamis, 22 Oktober 2009

Terima Kasihku Padamu (1)

Tulisan ini kumulai dari sepenggal tulisan Dian Ritter, "Kesombongan adalah 'aku' yang membumbung terlalu tinggi."
Ketika membaca kalimat itu, aku teringat kepada seseorang yang teramat mengagungkan ke-aku-annya. Seseorang yang telah dengan sengaja menciptakan sekat antara "aku" dan "kalian yang bukan aku".

Individualis ataukah terkesan terlampau narsis?
Entahlah! Yang pasti, di saat sementara orang mengaharam-jahanamkan keduanya, ia malah meng-ada-kan, menghadirkannya untuk mempertahankan diri dari "yang bukan aku".
Menurutku dia sedang mengidap apa yang pernah dikemukkan Fromm sebagai self-centeredness syndrom yang akut.

Aku kira kamu tahu siapa orang yang aku maksud. Ya, itu aku.

Aku sering menyimpulkan bahwa aku adalah orang yang sangat individualis. Bukan berarti tak mengacuhkan orang lain. Apalagi anti-social. Sama sekali tidak. Individualis yang aku maksud lebih kepada sikap introvert yang parah: tidak mengijinkan seorang pun menjamah ruang pribadiku.

Tapi, selalu saja ada cela dalam diri setiap insan. Dan ketika cela itu tak dapat dikelola, ia akan semakin menjadi.

Ada kalanya aku kalah. Kapan? Ketika aku tak lagi mampu menghadapi ganasnya terjangan gelombang kehidupan yang kadang mengombang-ambingkanku seorang diri. Saat itulah aku sadar bahwa ke-aku-anku yang membumbung tinggi itu ternyata menyimpan kerapuhan.

Tapi, entah kenapa aku terlalu sombong untuk mengakui kekalahan itu. Kesombongan yang makin memperkokoh tembok pertahanan diriku: kesombongan itu sendiri. Dan dengan dalih kepercayaan diri, berkali-kali aku membunuh keinginan untuk menjalin relasi peribadi yang terbuka dengan orang lain.
Namun, bukan berarti serta merta aku dapat membebaskan diri dari belenggu itu. Membunuhnya. Menguburnya. Tidak! Dia tidak hilang begitu saja. Dia --meminjam istilah seorang teman-- hanya luntur, pudar, terkikis, tapi tak habis. Dan sewaktu-waktu dia akan kembali menyeruak, bahkan dengan determinasi yang makin tak terkendali.

Sampai suatu saat kamu berhasil ”memaksaku” untuk meninjau ulang semua yang kupahami. Tentang ke-aku-an, ke-diri-an, dan kebersamaan.

Kau telah berhasil menggiringku pada suatu titik dimana aku mulai menyadari betapa angkuhnya egoisme yang berlebihan.
Dan kini aku mulai percaya pada apa yang pernah dikatakan Ernest Cassirer dan Kiekergaard, "Manusia menghayati dirinya yang uniqum bukanlah dengan jalan menghindari kebersamaan, melainkan justru bersama dengan yang lain-lain."

Terima kasih kuucapkan padamu. Kini aku mulai mendekonstruksi semua pemikiran dan keyakinan yang kuanut sebelumnya. Aku mulai setuju dengan pendapatmu bahwa manusia mesti menjalin relasi yang hangat dengan yang lain kalau tidak ingin mati dalam dingin, dalam kesendirian yang beku.

Salam hormat denganmu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar