"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Kamis, 10 Desember 2009

aku dan langitku: cerita hujan (1)

--buat seorang teman yang sedang dibuai 'hujan'

kusampaikan terima kasih padamu, langit. sekian putaran waktu kita telah menjalin hubungan yang begitu mesra. hanya saja relasi kita ini mesti diakhiri sampai di sini. apa alasannya? akan kujelaskan nanti.

* * *

aku yakin kau masih ingat, di suatu senja yang jingga kau menyapaku. aneh. ya, terlampau aneh karena setelah sekian lama kita bertemu muka, baru kali ini dari mulutmu keluar kata.
”bumi, maukah kau menampung hujanku?” begitu katamu.
hujan. kata itu juga tak begitu akrab di telingaku. namun juga tak sepenuhnya asing. aku pernah sesekali mendengar dari cerita leluhurku bahwa ada sesuatu, cerita, peristiwa, atau apalah yang dinamakan hujan.

menurut kabar yang aku dengar, hujan bisa datang dengan bermacam cara yang tak terduga. begitu juga dengan akibat yang ditimbulkannya. kadang dia menyapa dengan begitu lembut. setiap apa yang disentuh serasa dibelai oleh tangan-tangan halus yang memanjakan. namun, dia juga bisa datang dengan kemarahan serta raut wajah suram yang menghancurkan.

hujan mampu menggugah bermacam perasaan. sejuk. hangat. damai. gelisah. marah. ya, titik-titik air itu mampu meyentuh setiap sisi kehidupan, personal maupun komunal.

ah, kau membuatku makin penasaran saja, langit. membuatku makin ingin membuktikan apakah hujan yang kau katakan sama dengan hujan yang pernah dikisahkan.

...bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar