"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Senin, 15 Februari 2010

.:: bukan sepotong senja







setelah peristiwa penolakan senja kemerahan, kau kembali datang. tak murung, tapi juga tak menampakkan senyum. air mukamu berbeda. untuk beberapa saat aku sempat tak mengenalmu. kau asing. begitu asing. hanya dari suara aku tahu bahwa itu kau.

senja kemerahan itu tak lagi dalam genggaman. mungkin kau membuangnya ke samudera entah karena kecewa aku telah menolaknya mentah-mentah. dan itu membuatmu benar-benar marah. mungkin juga kau menyimpannya di tempat yang pernah kau katakan sebagai tempat paling hangat di dunia. entah ada di mana. entahlah. aku tak tahu. dan sama sekali tak ingin tahu.

kau diam. aku diam. kita berdua terdiam. seperti biasa.
tak ada yang mengejutkan karena hal itu memang sering kita lakukan. kau pernah mengatakan bahwa sebuah relasi tak melulu dibangun oleh komunikasi verbal. aku ingat kau mengutip apa yang pernah dikatakan Seno Gumira Ajidarma, "cinta itu abstrak, sepasang kekasih tidak usah selalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri mereka. cinta membuat sepasang kekasih saling memikirkan dan saling merindukan, menciptakan getaran cinta yang merayapi partikel udara, meluncur dan melaju ke tujuan yang sama dalam denyutan semesta."

waktu itu aku berkata kalau kau berlebihan. ada dua kata dalam kutipan tersebut yang terlalu sensitif dalam relasi kita berdua.

bagaimana reaksimu? sepertinya kau tersinggung. kau mengatakan bahwa aku adalah orang paling tolol yang pernah kau kenal. "itu cuma kutipan. apa yang membuatmu begitu bodoh hingga tak memahami itu semua? dari dulu aku merasa ada yang salah dengan pola pikirmu. kau bilang kalau definisi akan dipengaruhi oleh persepsi. aku tidak setuju. itu hanya akan membuat pikiran makin liar, mencoba dan terus memaksa mencari makna lain dari sesuatu. definisi hanya ada satu. dan hukum itu harus dipatuhi. itulah konsistensi."
kau melanjutkan, "dengan menanyakannya, berarti kau telah salah memberi makna dua kata itu. aku tak bermaksud demikian. sedikit pun tidak! maka kalau tidak ingin salah memaknai, jangan pernah berpikir macam-macam. ikutilah definisi yang ada. cukup itu saja."

aku terkejut. bukan karena prinsip yang kau anut. aku terkejut karena kau menjadi begitu emosional. rentetan kalimat itu mengalir dengan derasnya. bahkan tak jarang diselingi makian serta sumpah-serapah yang entah apa maksudnya. mungkin kaulah perempuan yang dimaksud dalam transkripsi Muhidin M Dahlan. mungkin kau ingat. pun kalau ku lupa, baiklah, aku kutipkan sebagian,
"seringkali engkau menjenuhkan (dan menyebalkan!), kekasih. tapi tak apa. toh manusia itu tidak monoton. aku yakin, kejengahan dan sikapmu yang awut-awutan itu di suatu hari akan berhenti di stasiun waktu ketika dirimu menemukan kesadaran yang menurutmu bisa membebaskan dan mendamaikan hatimu yang kalut.
bukan jadi soal sinergitas dirimu yang kebablasan, berteriak sekenanya, dan terkadang tak terkontrol. itu pun merupakan bagian dari kisah dirimu sendiri mengais-ngais identitas: pencarian yang kau rambah di tengah keramaian publik. aman kontras dengan separuh orang yang mengikuti olah rasa seperti Bunda Maryam yang memilih kehidupan yang sepi dan bhiksunisme untuk mengarak bakiak kesadaran yang rancak.
ya, Tuhan amat agung menciptakan sesuatu dengan perencanaan yang kontradiksi dengan mengusung satu maksud: mau insyaf, mau berbagi, dan mau saling mengarifi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar