"Apakah akan kupaksa tangan ini menorehkan larat-larat aksara,
sedang hati dan pikiran tak menginginkannnya?

Jika demikian, apa bedanya diriku dengan mesin pencetak yang tak punya hati tak punya kehendak?"

Jumat, 22 Januari 2010

tidak boleh bersedih?! kau bercanda?




"sudahlah, kau tak perlu menyesali hal ini." katanya sambil mencoba menghiburku malam itu.

sambil tersenyum kecut, aku mengatakan, "kau bercanda?"
ya, aku ingin tertawa saat mendengarnya. ternyata dia tak kenal siapa diriku. bukan diriku sebagai aku, melainkan diriku sebagai seorang anak manusia.

selama ini dia selalu saja memaksaku untuk tersenyum, tertawa, dan tampak bahagia. meski dia sendiri tahu aku sedang tak ingin melakukannya. begitu juga dengan keyakinan, harapan, optimis, dan segala sikap positif sejenis.

"aku ini manusia biasa." sergahku membela diri.

dia menimpali dengan kata-kata yang mungkin sudah kudengar ribuan kali, "aku tahu itu. tapi kita diharuskan untuk selalu menatap hidup dengan penuh semangat dan keyakinan. kita sama sekali tidak boleh bersedih."

"tidak boleh bersedih? kau gila?" ujarku lirih dalam hari.

selain semua hal yang pernah dikhutbahkannya padaku, aku juga berhak untuk sedih, kecewa, putus asa, bahkan menangis. itu semua bagian dari kedirianku.
jelas aku tak dapat melakukan semua yang dia katakan. mungikin hanya dewa yang bisa mencapainya.

dengan nada yang meninggi dia berkata, "kau hanya mencari pembenaran."

tapi bukankan akan indah manakala senang dan sedih, suka dan duka, tangis dan tawa, harapan dan keputusasaan dapat bersanding dengan begitu intim? kita butuh keseimbangan. biar saja mereka datang silih berganti seiring harmoni hidup yang kita jalani.

lalu aku melanjutkan, "kau tahu, aku berani bertaruh, kau pun tak akan mampu. pun kalau benar-benar sanggup, itu karena satu alasan: mungkin kau bukan manusia."

dia terdiam. lalu beranjak pergi meninggalkanku yang memang sedang ingin sendiri. mungkin dia marah. entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar